1.
Gender dan pembangunan
Persoalan perempuan
dan pembanguna mulai dapat perhatian setelah terjadinya pergeseran
paradigma pembanguna global dari production-centered
menuju ke people-centered development.
Perubahan ini telah dimulai sejak konferensi
Dunia I tentang wanita yang dilaksanakan pada tahun 1975 di Mexico city atas prakarsa
PBB. Konferensi ini merupakan langkah
awal komisi internasional mengenai hak-hak perempuan dalam oembangunan. Hal ini
juga dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
program-program pembangunan yang dilaksanakan tidak banyak membawa
kemajuan bagi perbaikan hidup perempuan.
Konferensi telah menghasilkan World Plan Of
Action yang disetujui selama 30 tahun,
berisi rekomendasi kepada pemerintah
masing-masing untuk diberikan kesempatan
pendidikan yang lebih luas bagi perempuan, kesempatan kerja yang lebih baik,
kesetaraan dan dalam partisipasi politik dan sosial, dan peningkatan pelayanan
kesehatan bagi perempuan, serta rekomendasi untuk membentuk mekanisme nasional untuk kemajuan perempuan.
Setelah lima
tahun sekali rencana aksi dievaluasi untuk
mengetahui perkembangan , hambatan dan berbagai kemungkinan perbaikan
rekomendasi.
Masih banyak orang yang belum paham tentang gender,
dan bahkan keliru memahaminya.
Kekeliruan pemahaman tentang gender dapat menyebabkan orang merasa tidak perlu
memperjuangkannya, dan bahkan anti terhadapnya. Hal ini akan berdampak signifikan bila terjadi pada para pengambil
kebijakan pembangunan dan tokoh-tokoh sentral dalam pengambilan keputusan di
berbagai aspek kehidupan.
Sejauh ini sudah cukup banyak upaya yang dilakukan
oleh pemerintah melalui pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan perempuan. Model pembangunan Negara-begara
berkembang demikian juga Indonesia
yang paling dominan adalah malibatkan
perempuan dalam pembangunan ( WID) . Upaya tersebut dapat dilihat dalam program kegiatan yang dilakukan seperti memfasilitasi perempuan dalam organisasi perempuan seperti PKK,
Dharmawanita, bantuan modal usaha, tenaga kerja, dll.
Beberapa penelitian menunjukkan dengan melibatkan
perempuan dalam pembangunan, tidak dengan serta akan membawa pada perbaikan kualitas
hidup perempuan. Apalagi jika dasarnya adalah dalam rangka mensukseskan
pembangunan atau efisiensi pembangunan. Dalam pembangunan yang demikian justru membawa dampak negative bagi
perempuan, karena mempertajam ketimpangan
gender yang mengakibatkan perempuan tersurbonisasi dan juga tidak jarang
mengalami tindak kekerasan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik,
ekonomi, psikoligis dan seksual.
Agar suatu kebijakan atau proyek pembangunan benar-benar bermanfaat bagi kemajuan
perempuan, maka kekhususan pengalaman perempuan sesuai latar budaya dimana ia
berada perlu menjadi perhatian. Disamping itu, juda perlu diingat bahwa
perempuan itu sendiri juga sangat heterogen.
2. Pengarusutamaan Gender ( PUG )
dalam pembangunan
Dalam merealisasikan Gender and
Development ( GAD) inilah kemudian
dikembangkan strategi pengarusutamaan Gender (PUG). PUG merupakan
strategi untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring dan evaluasi dari seluruh
kebijakan program dan proyek di seluruh sector pembangunan telah memperhitungkan dimensi gender yaitu
malihat laki-laki dan perempuan sebagai
pelaku. Strategi PUG berupaya menjawab adanya ketidakadilan gender dengan mengintegrasikan
kerangka analisis gender, yaitu kerangka konseptual yang dilandasi kesadaran
adanya kemungkinan perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan dan
kebutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap tahap proses pembangunan
di berbagai sector maupun lintas sector.
Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan , pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi. Pemerintah telah menetapkan strategi khusus yang disebut Pengarusutamaan Gender ( PUG) yang diatur dalam intstruksi presiden nomor 9
tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Secara
khusus tujuan PUG sesuai inpres nomor 9
tahun 2000 adalah :
“ Terselenggaranya perencanaan, penyususunan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
Kebijakan
PUG memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah untuk membuka
dimensi gender dalam proses pembangunan daerahnya. Dengan kata lain,
strategi PUG adalah alat untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan agar mereka dapat menjadi warga
Negara yang berperan secara utuh dalam setiap proses pembangunan.
3. Dasar hukum PUG
Komitmen
pemerintah Indonesia
untuk melaksanakan PUG di berbagai sector sebenarnya sudah relative diwujudkan
oleh perangkat hukum yang tersedia. Berbagai dasar hukum bagi pelaksanaan PUG sudah tersedia
sebagaimana yang tercantum dibawah ini :
- Pasal 27 UUD 1945, yang mengamanahkan bahwa setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan
- Bab IV, bagian F ayat 3, TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dalam GBHN bagian F ayat 3 poin a, dinyatakan bahwa diamanahkan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mapu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
- UU No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional ( PROPENAS) . Dalam PROPENAS dengan tegas dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu dikembangkan kebijakan nasional yang responsive gender.
- UU nomor 39 tahun 2002 tentang REPELITA
- UU nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional
- Inpres nomor 9 tahun 2000
- Surat edaran Mendagri dan otoda nomor 050/1232/SJ/2001 tentang pelaksanaan PUG
- Surat Meneg Pemberdayaan perempuan Nomor B-55/Men.PP/Dep.II/VI/2002 tentang panduan pelaksanaan inpres nomor 9 tahun 2000 kepada pimpinan sector, gubernur, Bupati/wali kota
4. Hambatan dalam pelaksanaan PUG
Mastuti
dan Rinusu mengemukakan beberapa hambatan PUG sbb :
- Hambatan budaya
- Lemahnya sosialisasi
- Hambatan kelembagaan
- Belum adanya visi diantara eksekutif dan legislative
- Kebijakan anggaran yang buta gender
like
BalasHapus