Sabtu, 10 Desember 2011

gender dan hukum


1.      FENOMENA KETIDAKADILAN GENDER DALAM BIDANG HUKUM

Pada umumnya warga masyarakat memandang bahwa hukum yang diterapkan  menurut apa yang terumus di dalamnya akan bermuara pada keadilan yang tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum justru sering dijadikan  alat pembenaran demi  menerapkan ideology patriarkhi. Sebagai produk masyarakat dan produk politik, hukum  tidak netral. Hukum  selalu sarat dengan kepentingan  yang mencerminkan nilai  dan situasi sosial politik dan ekonomi  pada saat hukum tersebut diciptakan. Dengan kata lain hukum  mencerminkan standar nilai  yang dianut masyarakat pada saat dibuat. Pada masyarakat yang menganut budaya patriakhis hukumnya akan sangat patriarkhi.
                Hukum dapat dikatakan sebagai konstruksi sosial dimana seksualitas perempuan  didefenisikan. sebagai  sebuah konstruksi sosial  jelas bahwa hukum tidak dapat  memenuhi tuntutan akan keadilan, karena sejak semula ia dirumuskan  berdasarkan suatu ketidaksetaraan  dan ketidakadilan gender dimana laki-laki dan perempuan didefenisikan secara berbeda tidak saja menurut jenis kelaminnya tetapi juga menurut defenisi sosialnya. Dalam kondisi seperti ini, hukum yang dilahirkan tidak lebih  hanya sebagai suatu  strategi untuk mempertahankan  kekuasaan dari sebagian kecil orang yang menguasai berbagai  sumber daya ekonomi, politik dan sosial budaya. Akibatnya, dalam pelaksanaannya hukum bermukan ganda dalam arti berdampak berbeda pada laki-laki dan perempuan yang akhirnya melahirkan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
                Temuan  LBH APIK (1998) terhadap beberapa produk hukum yang diskriminatif dan tidak memperhatikan prinsip kesetaraan serta keadilan gender yaitu :
  1. GBHN mulai dari tahun 1978 sampai 1998
  2. Perangkat UU, seperti UU No. 1 /1974 tentang perkawinan, UU No. 25 / 1998 tentang ketenagakerjaan , UU  No. 64 / 1958 tentang kewarganegaraan dan KUHP bagian penganiayaan terhadap istri, bagian perkosaan  dan perdagangan perempuan.
  3. Peraturan pemerintah yaitu PP No. 45 / 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 / 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian.
  4. Beberapa surat keputusan menteri dibidang ketenagakerjaan  dan beberapa peraturan daerah
Kebijakan – kebijakan tersebut dapat dikatakan  bahwa Negara secara khusus menciptakan perangkat kebijakan dan organisasi dengan tujuan mendepolitisasi perempuan .
        Terdapatnya produk hukum yang bias gender disebabkan  karena perumus kebijakan yang merancang produk hukum dan para penegak hukum belum memahami permasalahan  gender, sehingga masih banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan perlakuan hukum. Dalam deklarasi PBB tentang HAM ditegaskan bahwa manusia, perempuan dan laki-laki sejak dilahirkan membawa hak dan kebebasan  dari martabat yang sama. Namun, persamaan hak, kebebasan dan martabat perempuan dan laki-laki belum sepenuhya terwujud.
        Contoh lain terdapatnya produk hukum yang bias gender dikemukakan oleh Katjasungkana bahwa pasal-pasal yang ada dalam hukum perdata yang berkaitan  dengan perempuan  didasarkan pada pandangan bahwa perempuan adalah lemah dan harus dilindungi oleh suaminya sehingga ia pun harus selalu patuh pada kehendak suaminya. Pasal 105 KUH perdata menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan  seorang istri tidak dapat tampil di muka hakim, tidak dapat membuat  kontrak tanpa bantuan suaminya. Pasal 108 juga mengatakan perempuan tidak dapat bertindak atas dirinya sendiri, tidak berhak atas pengurusan harta bersama dan wajib ikut suami.
        Sementara itu dalam KUH Pidana khususnya dalam ketentuan yang berkaitan dengan perempuan tidak hanya control terhadap tubuhnya sendiri. Pasal 285 KUH Pidana mengatur tentang perkosaan dengan asumsi yang dipakai adalah bahwa dalam hubungan seksual seorang istri harus selalu tunduk kepada suaminya. Karena itu seorang istri tidak dapat mengadukan suaminya jika terjadi hubungan  seksual tanpa persetujuan. Contoh lain dalam pasal 207 KUH Pidana menganggap perempuan sama dengan anak laki-laki yang belum dewasa yang kurang atau belum bisa melindungi dirinya sendiri. Berbagai contoh di atas menjelaskan bahwa hukum adalah konstruksi sosial dimana dalam pengimplementasian banyak terjadi diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan.

2.      LANGKAH –LANGKAH PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG HUKUM

Persoalan berikutnya dalam mengkaji hubungan perempuan dan hukum adalah rendahnya akses dan control perempuan di bidang hukum. Satu contoh adalah bahwa hakim-hakim yang berjenis kelamin perempuan sangat sedikit. Dari data statistic gender diketahui bahwa jumlah hakim agung hanya 17 % bila dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Moore, sungguhpun perempuan yang dididik dalam profesi peradilan pidana dan profesi hukum meningkat, namun mereka tidaklah dengan mudah diserap  ke dalam pasar tenaga kerja. Banyak perempuan yang dididik dalam pelaksanaan UU, mendapatkan diri mereka  sendiri tidak mampu memperoleh kedudukan dalam departemen kepolisian dan akhirnya bekerja sebagai pengatur lalu lintas, keamanan, dan pekerjaan-pekerjaan pengiriman berita. Kondisi ini juga diperparah oleh budaya kita dan diskriminasi structural di dalam bekerja. Sudah  menjadi rahasia umum bahwa polisi dan hakim dicap sebagai pekerja-pekerja yang keras dengan sifat maskulin. Hal ini tentu bertentangan  dari pandangan masyarakat atas sikap lemah lembutnya perempuan. Diskriminasi structural biasanya berupa menyingkirkan  atau menciptakan lingkungan kerja yang memusuhi perempuan. Belum lagi ditambah dengan upah ( bayaran ) yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Dengan demikian institusi hukum memperkuat norma-norma kekuasaan patriarkhis , karena melindungi kapitalisme serta memperkuat kelas, ras, dan prasangka-prasangka seksual. Di bawah patriarkhi perempuan tidak punya otoritas dalam system hukum baik itu menentukan  ukuran-ukuran sanksi bagi terdakwa dan juga korban, memberikan perlindungan dan memulihkan kesehatan mental. Semuanya tergantung kepada system laki-laki tidak ada pembeda.
Untuk mengatasi hal itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan perempuan di bidang hukum :
a. Melakukan penataan system hukum nasional yang bersperspektif perempuan. Pendekatan hukum berperspektif perempuan muncul sekitar tahun 1970-an dan  merupakan salah satu aliran terpenting dalam pemikiran ilmu hukum. Gagasan dari pendekatan hukum berperspektif perempuan ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum diinformasikan oleh laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan  sosial yang patriarkhis. Hubungan yang dimaksud adalah  yang didasarkan pada norma. Pengalaman dan kekuasaan laki-laki serta mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian hukum dipandang telah menyumbang kepada penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain pendekatan hukum yang berperspektif perempuan  mengacu kepada suatu bidang teori, pengajaran dan praktek mengenai bagaimana hukum berdampak kepada perempuan. Adapun inti gagasan hukum berperspektif perempuan meliputi beberapa hal :
1. Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah menguji apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman perempuan, atau betapa standar ganda dan konsep hukum telah merugikan perempuan.
2. Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah rangka menerapkan metode kritis terhadap penerapan hukum. Pendekatan ini selanjutnya mempersoalkan  tentang implikasi gender dari hukum yang mengabaikan perempuan. Doing law bagi seorang feminis adalah melihat ada apa dibalik perumusan hukum-hukum tersebut. Apa implikasi gender dari peraturan-peraturan hukum serta juga harus mengamati asumsi-asumsi dalam memecahkan persoalan
3. Konsekuensi metodologis, yaitu digunakannya kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Ini merupakan cirri khas dari pendekatan hukum berperspektif perempuan. Yang membedakannya dari aliran mainstream pada umumnya yaitu tidak berasal dari teori yang muluk-muluk, tetapi berdasarkan  pengalaman-pengalaman perempuan, melihat bagaimana perempuan dapat menikmati hak-hak dasarnya dan memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan pada pengalaman individual perempuan sehari-hari yang biasa dan kongkrit. Kemudian dimunculkan berbagai pengalaman yang dianut bersama.

                Weisberg mengatakan bahwa pendekatan hukum berperspektif perempuan mempunyai dua komponen, yaitu :
  1. Eksploitasi dan kritik tataran teoritik terhadap interaksi antara hukum dan gender.
  2. Penerapan analisis dan perspektif perempuan terhadap lapangan hukum yang kongkrit seperti keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual dengan tujuan menupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum.

b. Peningkatan kuantitas perempuan sebagai aparat penegak hukum. Rendahnya kuantitas perempuan yang berkiprah  di bidang hukum seharusnya menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk memberdayakan perempuan di bidang ini. Hanya dengan cara demikian maka permasalahan-permasalahan perempuan  di bidang hukum akan menjadi lebih baik dalam penerapan dan penafsirannya.
c. Peningkatan pemahaman semua pihak dan penerapan UU No.7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
d. Penyusunan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan.
e. Peningkatan perlindungan, penghormatan dan  penegakan HAM bagi perempuan  dalam seluruh aspek kehidupan.
f. Pembentukan pusat  rehabilitasi keluarga  bagi perempuan  korban tindak kekerasan.
g. Peningkatan kesadaran hukum, kesetaraan dan keadilan gender bagi masyarakat.
h. Perlindungan anak perempuan  dan eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar