1.
FENOMENA KETIDAKADILAN GENDER DALAM BIDANG HUKUM
Pada umumnya warga masyarakat memandang bahwa hukum
yang diterapkan menurut apa yang terumus
di dalamnya akan bermuara pada keadilan yang tidak mengenal perbedaan jenis
kelamin. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum justru sering dijadikan alat pembenaran demi menerapkan ideology patriarkhi. Sebagai
produk masyarakat dan produk politik, hukum
tidak netral. Hukum selalu sarat
dengan kepentingan yang mencerminkan
nilai dan situasi sosial politik dan
ekonomi pada saat hukum tersebut
diciptakan. Dengan kata lain hukum
mencerminkan standar nilai yang
dianut masyarakat pada saat dibuat. Pada masyarakat yang menganut budaya
patriakhis hukumnya akan sangat patriarkhi.
Hukum dapat dikatakan sebagai
konstruksi sosial dimana seksualitas perempuan
didefenisikan. sebagai sebuah
konstruksi sosial jelas bahwa hukum
tidak dapat memenuhi tuntutan akan
keadilan, karena sejak semula ia dirumuskan
berdasarkan suatu ketidaksetaraan
dan ketidakadilan gender dimana laki-laki dan perempuan didefenisikan
secara berbeda tidak saja menurut jenis kelaminnya tetapi juga menurut defenisi
sosialnya. Dalam kondisi seperti ini, hukum yang dilahirkan tidak lebih hanya sebagai suatu strategi untuk mempertahankan kekuasaan dari sebagian kecil orang yang
menguasai berbagai sumber daya ekonomi,
politik dan sosial budaya. Akibatnya, dalam pelaksanaannya hukum bermukan ganda
dalam arti berdampak berbeda pada laki-laki dan perempuan yang akhirnya
melahirkan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Temuan LBH APIK (1998) terhadap beberapa produk
hukum yang diskriminatif dan tidak memperhatikan prinsip kesetaraan serta
keadilan gender yaitu :
- GBHN mulai dari tahun 1978 sampai 1998
- Perangkat UU, seperti UU No. 1 /1974 tentang perkawinan, UU No. 25 / 1998 tentang ketenagakerjaan , UU No. 64 / 1958 tentang kewarganegaraan dan KUHP bagian penganiayaan terhadap istri, bagian perkosaan dan perdagangan perempuan.
- Peraturan pemerintah yaitu PP No. 45 / 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 / 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian.
- Beberapa surat keputusan menteri dibidang ketenagakerjaan dan beberapa peraturan daerah
Kebijakan – kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa Negara secara khusus menciptakan
perangkat kebijakan dan organisasi dengan tujuan mendepolitisasi perempuan .
Terdapatnya
produk hukum yang bias gender disebabkan
karena perumus kebijakan yang merancang produk hukum dan para penegak
hukum belum memahami permasalahan
gender, sehingga masih banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan
perlakuan hukum. Dalam deklarasi PBB tentang HAM ditegaskan bahwa manusia,
perempuan dan laki-laki sejak dilahirkan membawa hak dan kebebasan dari martabat yang sama. Namun, persamaan
hak, kebebasan dan martabat perempuan dan laki-laki belum sepenuhya terwujud.
Contoh
lain terdapatnya produk hukum yang bias gender dikemukakan oleh Katjasungkana
bahwa pasal-pasal yang ada dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perempuan didasarkan pada pandangan bahwa perempuan
adalah lemah dan harus dilindungi oleh suaminya sehingga ia pun harus selalu
patuh pada kehendak suaminya. Pasal 105 KUH perdata menyebutkan bahwa suami
adalah kepala keluarga dan seorang istri
tidak dapat tampil di muka hakim, tidak dapat membuat kontrak tanpa bantuan suaminya. Pasal 108
juga mengatakan perempuan tidak dapat bertindak atas dirinya sendiri, tidak
berhak atas pengurusan harta bersama dan wajib ikut suami.
Sementara
itu dalam KUH Pidana khususnya dalam ketentuan yang berkaitan dengan perempuan
tidak hanya control terhadap tubuhnya sendiri. Pasal 285 KUH Pidana mengatur
tentang perkosaan dengan asumsi yang dipakai adalah bahwa dalam hubungan
seksual seorang istri harus selalu tunduk kepada suaminya. Karena itu seorang
istri tidak dapat mengadukan suaminya jika terjadi hubungan seksual tanpa persetujuan. Contoh lain dalam
pasal 207 KUH Pidana menganggap perempuan sama dengan anak laki-laki yang belum
dewasa yang kurang atau belum bisa melindungi dirinya sendiri. Berbagai contoh
di atas menjelaskan bahwa hukum adalah konstruksi sosial dimana dalam
pengimplementasian banyak terjadi diskriminasi dan eksploitasi terhadap
perempuan.
2.
LANGKAH –LANGKAH PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG
HUKUM
Persoalan berikutnya dalam mengkaji hubungan
perempuan dan hukum adalah rendahnya akses dan control perempuan di bidang
hukum. Satu contoh adalah bahwa hakim-hakim yang berjenis kelamin perempuan
sangat sedikit. Dari data statistic gender diketahui bahwa jumlah hakim agung
hanya 17 % bila dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Moore, sungguhpun
perempuan yang dididik dalam profesi peradilan pidana dan profesi hukum
meningkat, namun mereka tidaklah dengan mudah diserap ke dalam pasar tenaga kerja. Banyak perempuan
yang dididik dalam pelaksanaan UU, mendapatkan diri mereka sendiri tidak mampu memperoleh kedudukan
dalam departemen kepolisian dan akhirnya bekerja sebagai pengatur lalu lintas,
keamanan, dan pekerjaan-pekerjaan pengiriman berita. Kondisi ini juga diperparah
oleh budaya kita dan diskriminasi structural di dalam bekerja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa polisi dan hakim
dicap sebagai pekerja-pekerja yang keras dengan sifat maskulin. Hal ini tentu
bertentangan dari pandangan masyarakat
atas sikap lemah lembutnya perempuan. Diskriminasi structural biasanya berupa
menyingkirkan atau menciptakan
lingkungan kerja yang memusuhi perempuan. Belum lagi ditambah dengan upah (
bayaran ) yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian institusi hukum memperkuat
norma-norma kekuasaan patriarkhis , karena melindungi kapitalisme serta
memperkuat kelas, ras, dan prasangka-prasangka seksual. Di bawah patriarkhi
perempuan tidak punya otoritas dalam system hukum baik itu menentukan ukuran-ukuran sanksi bagi terdakwa dan juga
korban, memberikan perlindungan dan memulihkan kesehatan mental. Semuanya
tergantung kepada system laki-laki tidak ada pembeda.
Untuk mengatasi hal itu, diperlukan langkah-langkah
pemberdayaan perempuan di bidang hukum :
a. Melakukan penataan system hukum nasional yang bersperspektif
perempuan. Pendekatan hukum berperspektif perempuan muncul sekitar tahun
1970-an dan merupakan salah satu aliran
terpenting dalam pemikiran ilmu hukum. Gagasan dari pendekatan hukum
berperspektif perempuan ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan
antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum diinformasikan
oleh laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan sosial yang patriarkhis. Hubungan yang
dimaksud adalah yang didasarkan pada
norma. Pengalaman dan kekuasaan laki-laki serta mengabaikan pengalaman
perempuan. Dengan demikian hukum dipandang telah menyumbang kepada penindasan
terhadap perempuan. Dengan kata lain pendekatan hukum yang berperspektif
perempuan mengacu kepada suatu bidang
teori, pengajaran dan praktek mengenai bagaimana hukum berdampak kepada
perempuan. Adapun inti gagasan hukum berperspektif perempuan meliputi beberapa
hal :
1.
Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah menguji apakah hukum telah gagal
memperhitungkan pengalaman perempuan, atau betapa standar ganda dan konsep
hukum telah merugikan perempuan.
2.
Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah rangka menerapkan metode kritis
terhadap penerapan hukum. Pendekatan ini selanjutnya mempersoalkan tentang implikasi gender dari hukum yang mengabaikan
perempuan. Doing law bagi seorang
feminis adalah melihat ada apa dibalik perumusan hukum-hukum tersebut. Apa
implikasi gender dari peraturan-peraturan hukum serta juga harus mengamati
asumsi-asumsi dalam memecahkan persoalan
3.
Konsekuensi metodologis, yaitu digunakannya kasus-kasus pengalaman perempuan
sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan
laki-laki. Ini merupakan cirri khas dari pendekatan hukum berperspektif
perempuan. Yang membedakannya dari aliran mainstream pada umumnya yaitu tidak
berasal dari teori yang muluk-muluk, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan, melihat
bagaimana perempuan dapat menikmati hak-hak dasarnya dan memperoleh
perlindungan hukum. Berdasarkan pada pengalaman individual perempuan
sehari-hari yang biasa dan kongkrit. Kemudian dimunculkan berbagai pengalaman
yang dianut bersama.
Weisberg mengatakan bahwa
pendekatan hukum berperspektif perempuan mempunyai dua komponen, yaitu :
- Eksploitasi dan kritik tataran teoritik terhadap interaksi antara hukum dan gender.
- Penerapan analisis dan perspektif perempuan terhadap lapangan hukum yang kongkrit seperti keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual dengan tujuan menupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum.
b. Peningkatan kuantitas perempuan sebagai aparat penegak hukum.
Rendahnya kuantitas perempuan yang berkiprah
di bidang hukum seharusnya menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk
memberdayakan perempuan di bidang ini. Hanya dengan cara demikian maka
permasalahan-permasalahan perempuan di
bidang hukum akan menjadi lebih baik dalam penerapan dan penafsirannya.
c. Peningkatan pemahaman semua pihak dan penerapan UU No.7 tahun 1984
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
d. Penyusunan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan
terhadap perempuan.
e. Peningkatan perlindungan, penghormatan dan penegakan HAM bagi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan.
f. Pembentukan pusat rehabilitasi
keluarga bagi perempuan korban tindak kekerasan.
g. Peningkatan kesadaran hukum, kesetaraan dan keadilan gender bagi
masyarakat.
h. Perlindungan anak perempuan
dan eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar