Bagi masyarakat
Hukum Adat (apalagi yang masih sangat bercorak agraris) tanah merupakan modal
utama. Hal ini karena tanah merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bercocok
tanam dan tempat beribadah bagi masyarakat Hukum Adat. Betapa pentingnya tanah
sehingga dari jaman raja-raja sampai dengan sekarang dirasakan perlu untuk
mengatur mengenai masalah tanah ini.
Pada masyarakat
Hukum Adat jaman dahulu yang masih belum mengenal arti Hukum Agraria yang
dibukukan, peraturan mengenai tanah sudah ada. Pada waktu itu berlaku ketentuan
bahwa siapa yang pertama kali membuka suatu lahan dan mendudukinya, maka dialah
yang dianggap menjadi pemilik tanah itu. Dalam hal ini untuk pembuktian
kepemilikan tanah tidak diperlukan surat-menyurat secara tertulis, tetapi cukup
adanya pengakuan secara lisan dari masyarakat setempat bahwa benar tanah yang
bersangkutan telah lama diduduki oleh orang yang bersangkutan, sehingga orang
tersebut dianggap sebagai pemiliknya.
Sering pula
terjadi bahwa sebidang tanah tidak dapat dikatakan sebagai hak milik orang
perseorangan. Hal ini terjadi apabila ada sekelompok orang yang datang
bersama-sama dan terpimpin membuka sebidang tanah hutan yang masih luas karena
penduduk daerah tersebut masih sedikit sekali, yang dimulai dengan cara membuka
ladang, kemudian bercocok tanam dan mendirikan bangunan perumahan untuk tempat
tinggal, sehingga terjadilah perkampungan. Dalam hal ini tidak ada seorangpun
yang dikatakan sebagai pemilik tanah, karena tanah itu dianggap sebagai milik
bersama dari kelompok masyarakat tersebut. Pemilikan tanah oleh sekelompok
orang sering ditandai dengan adanya kuburan/makam atau keramat dari puyang
pendiri desa yang bersangkutan.
Sejalan dengan
perkembangan jumlah penduduk dan semakin meningkatnya kebutuhan akan tempat
tinggal, maka mendapatkan tanah tidak semudah dulu lagi. Orang harus
mendapat izin khusus dari penguasa setempat (misalnya raja) atau pejabat
lainnnya yang berwenang agar dapat membuka tanah dan memilikinya. Pada masa-masa
ini kepemilikan tanah masih belum dibuktikan dengan bukti tertulis. Namun
demikian sejalan setelah dikenalnya hukum tertulis dan meningkatnya kesadaran
hukum dalam masyarakat akhirnya dibentuklah hukum tertulis yang mengatur
mengenai tanah. Hukum ini dikenal dengan nama Hukum Agraria. Dengan adanya
Hukum Agraria maka dimulailah usaha-usaha untuk membuktikan kepemilikan
tanah dengan menggunakan akta tanah. Akta tanah ini memuat hal-hal yang
berkaitan dengan tanah, dan lain-lain yang dianggap perlu. Dengan adanya akta
tanah ini maka seseorang yang namanya tertera di dalam akta tanah dianggap
sebagai pemilik tanah tersebut.
Dalam kaitannya
dengan kesejahteraan seluruh masyarakat, ada tanah tertentu yang tidak dimiliki
oleh siapapun. Tanah ini disebut dengan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan
tanah milik masyarakat desa tertentu yang merupakan milik bersama dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
Di Indonesia
keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis
dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Di dalam Undang-undang Pokok
Agraria UU No. 5 Tahun 1960 hak ulayat yang merupakan hak purba persekutuan
hukum diakui dengan tegas di dalam Pasal 3 yang menyatakan :
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum)
lain yang lebih tinggi”.
Dengan adanya
ketentuan Pasal 3 UUPA sebagaimana disebutkan di atas berarti bahwa secara
hukum hak ulayat masih diakui, namun apakah di dalam masyarakat Hukum Adat hak
ulayat itu masih ada.
Namun menurut
Maria Sumardjono, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental
tersebut di atas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau
tidaknya hak ulayat, harus dilihat pada tiga hal, yaitu :
1. Adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak
ulayat.
2. Adanya
tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan
obyek hak ulayat.
3. Adanya
kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
sebagaimana diuraikan di atas.
Dipenuhinya
ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup obyektif sebagai
kriteria penentu masih ada atau tidak adanya hak ulayat, sehingga misalnya,
walaupun ada masyarakat hukum atau wilayahnya, namun apa bila masyarakat hukum
tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan
tersebut di atas, maka hak ulayat dapat dikatakan sebagai sudah tidak ada lagi.
Di samping hak
ulayat dalam pengertian yang lazim sebagaimana yang biasa kita kenal di
dalam hukum adat tetapi telah ditingkatkan kedudukan sehingga oleh Prof.
Hazairin dikemukakan bahwa Hak Ulayat masih selalu diakui, akan tetapi tidak
boleh dipergunakan bertentangan dengan Undang-undang serta kepentingan umum
bangsa.
Penjelasan Umum
Undang-undang Pokok Agraria selanjutnya menyatakan : “Tetapi dalam pada itu
ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat
dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi hingga pada akhirnya
akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilandan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya.”
Pengertian
tanah “dikuasai” oleh negara menurut Penjelasan Umum Undang-undang Pokok
Agraria bukan berarti “dimiliki” oleh negara tetapi hal itu berarti memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk
pada tingkatan yang tertinggi :
1. mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
2. menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang
angkasa itu.
3. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar