Berbicara tentang
masalah,banyak orang yang bilang sebagai manusia normal wajar saja kalau kita
bermasalah. Lah, kalau begini kalimatnya, mereka yang “abnormal” adalah
manusia yang tak punya masalah dalam hidupnya ?????? Kalau begitu, kenapa harus
ada yang namanya rumah sakit jiwa???
Berarti orang-orang yang “abnormal” atau biasa disebut dengan “gila”
atau “ gak waras” tersebut terkategori sebagai makhluk yang baik-baik saja,
yang tidak perlu “diobati”. Baca lagi pengertian masalah berdasarkan tiga
sumber di atas. Ngeri sekali rasanya kalau “orang gila” dikatakan sebagai orang
yang gak bermasalah. Dan bila itu tetap dibenarkan adanya, ya sudah, bubarkan
saja rumah sakit jiwa. Bukannya “orang yang gak bermasalah” itu tidak akan
mengganggu atau merugikan lingkungannya ?????????
Sabtu, 10 Desember 2011
Masalah dan “manusia tak bermasalah”
Setiap manusia
tentunya pernah mengalami masalah dalam hidupnya. Menurut KBBI (kamus besar bahasa indonesia),
masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan). Winkel (1985)
dalam bukunya yang berjudul bimbingan dan konseling di sekolah, mengemukakan
bahwa masalah merupakan sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit
seseorang mencapai maksud dan tujuan tertentu . Kondisi bermasalah dengan
demikian mengganggu dan dapat merugikan individu maupun lingkungannya.
Kemudian, dalam bukunya yang berjudul layanan konseling perorangan, Prayitno
(2004) mengungkapkan masalah dapat dicirikan sebagai “(1) sesuatu yang tidak
disukai adanya, (2) sesuatu yang ingin dihilangkan, dan/atau (3) sesuatu yang
dapat menghambat atau menimbulkan kerugian, …”.
penegakan hukum yang elegan
Bagir Manan (dalam Mien Rukmini, 2003: 30) menyatakan bahwa
keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung kepada penerapan dan
penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan
perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan
arti sesuai dengan tujuannya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh aparat penegak
hukum kita untuk bisa mewujudkan penegakan hukum yang elegan, diantaranya:
1.
Wajib berpegang teguh kepada asas legalitas dan asas praduga tak bersalah serta
persamaan didepan hukum
2.
Pelaksanaan yang selaras dan seimbang antara kepastian hukum dan keadilan hukum
3.
Memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan terhadap HAM
Ad
1. Wajib berpegang teguh kepada asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah
serta persamaan didepan hukum
a.
Asas Legalitas
Pasal
1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada”. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa harus ada peraturan
perundang-undangan terlebih dahulu yang mengatakan bahwa perbuatan itu dilarang
dan diancam pidana, barulah kemudian terhadap pelakunya bisa dipidana. Dalam Pasal
1 ayat (2)nya dinyatakan bahwa “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkan”. Ayat (2) ini berlaku tatkala ada perubahan
perundang-undangan baik secara keseluruhan maupun sebagian setelah perbuatan
itu dilakukan, maka sanksi yang diberikan harus didasarkan pada
perundang-undangan yang lebih menguntungkan bagi pelaku.
Disamping
dalam KUHP, pengaturan tentang asas legalitas juga terdapat dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan
selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Prinsip
asas legalitas ini tidak hanya digunakan dalam sistem peradilan pidana tetapi
juga digunakan sebagai pegangan bagi pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan
pemerintahan, sebagaimana disebutkan oleh Sri Soemantri sebagai unsur Negara
hukum yang pertama. Unsur dimaksud adalah Pemerintah dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya harus berdasar atas hukum/peraturan perundang-undangan. Unsur
ini mensyaratkan apapun yang dilakukan dan dikeluarkan oleh pemerintah dan
aparat birokrasi lainnya harus selalu didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Walaupun kemudian pemerintah diberikan
kewenangan bebas yang disebut dengan Freis Ermessen, tetapi
penggunaannya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku
(kaidah hukum positif)
- Hanya ditujukan demi kepentingan umum (Ridwan HR, 2006:
181)
b.
Asas Praduga tak bersalah (Presumption of Inosence)
Asas
Praduga tak bersalah dianut didalam negara-negara yang menerapkan Due Proces
Model (DPM) dalam peradilan pidananya, dimana dicirikan oleh tujuan
peradilan yang bersifat Legal Guilt (Kesalahan menurut Hukum). Yang
dipentingkan di dalam Legal Guilt adalah proses hukumnya bukan kepada
pengakuan tersangka/terdakwa, sehingga seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana belum tentu dapat dihukum sebelum dibuktikan kesalahannya menurut hukum.
Indonesia juga merupakan bagian dari Negara yang sistem peradilannya menyerupai
Due Proces Model (DPM), karena itu asas praduga tak bersalah wajib
dijunjung tinggi dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Pengaturan
tentang penggunaan Asas Praduga Tak Bersalah di Indonesia sebenarnya sudah
banyak, diantaranya:
- Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 8 menyatakan
bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan/atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
- Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang ditangkap,
ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
c.
Asas persamaan di depan hukum
Asas
persamaan di depan hukum membawa konsekuensi bahwa setiap orang siapapun dia,
apapun latar belakang dan statusnya, wajib dilindungi oleh hukum. Hukum juga
wajib menghukum kepada siapapun yang terbukti bersalah tanpa melihat siapa dan
apa status orang yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”. Pasal ini dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”.
Ad. 2 Pelaksanaan
yang selaras dan seimbang antara kepastian hukum dan keadilan hukum
Secara teoritis hukum diharapkan dapat memenuhi 3 nilai
dasar, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum. Ketiga
nilai dasar ini berhubungan dengan keabsahan berlakunya suatu kaidah hukum.
Kaidah hukum yang keabsahannya berlaku secara yuridis berhubungan dengan adanya
kepastian hukum, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap terciptanya ketertiban
di masyarakat. Kaidah hukum, yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat, dianggap memiliki keabsahan berlaku secara filosofis. Keabsahan
berlaku secara filosofis berhubungan dengan nilai keadilan. Hukum yang memiliki
kemanfaatan secara nyata dalam masyarakat, dianggap memiliki keabsahan berlaku
secara sosiologis.
Apabila penegakan hukum dapat dilakukan dengan menyelaraskan
antara kepastian hukum dan keadilan hukum maka diyakini hukum itu akan
bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Dasar pemberlakuan
yang seimbang antara kepastian hukum dengan keadilan hukum, terdapat dalam:
-
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.
-
Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan Negara untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Dari kedua perundang-undangan tersebut, kata “menegakkan
hukum” mengacu kepada kepastian hukum dan kata “keadilan” mengacu kepada
keadilan hukum. Kepastian hukum mengarah kepada pelaksanaan penegakan hukum
yang sesuai atau berdasarkan kepada hukum positif (sumber hukum dalam arti
formal). Sedangkan keadilan hukum mengarah kepada pelaksanaan penegakan hukum
yang tidak hanya berdasarkan pada hukum positif tetapi juga sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (sumber hukum dalam arti materiil). Hal ini
dipertegas dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, yang
menyatakan bahwa “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”.
Kata keadilan tidak diartikan secara sempit mengenai
keadilan orang-perorang saja tetapi merupakan keadilan demi kepentingan yang
lebih umum, sehingga orang tidak boleh beralaskan pada keadilan untuk minta
dimenangkan atau dibebaskan oleh hakim jika berperkara di pengadilan.
Pelaksanaan keadilan hukum ini juga dilatarbelakangi oleh
beberapa fakta yang secara nyata disiratkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004, seperti misalnya;
-
Pasal 16 ayat (1), yang menyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
-
Pasal 28, yang menyatakan bahwa:
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Ad. 3 Memperhatikan
prinsip-prinsip perlindungan terhadap HAM
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang Dasar 1945 hasil
amandemen telah mengakomodir Hak-hak Asasi Manusia yang harus dilindungi oleh
Negara, yang dinyatakan dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Terkait dengan
penegakan hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
-
Pasal 28B ayat (2), yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
-
Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”.
-
Pasal 28G ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa:
(1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi
(2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.
-
Pasal 28I ayat (1), yang menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi”.
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak
asasi manusia juga diatur mengenai hak-hak masyarakat yang wajib dilindungi
oleh Negara, termasuk dalam kerangka penegakan hukum, diantaranya:
-
Pasal 3 ayat (2), yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”.
-
Pasal 4, yang menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang belaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
-
Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapat bantuan
dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak”.
-
Pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar”.
-
Pasal 33 ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat manusia”.
-
Pasal 34, yang menyatakan bahwa “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan,
disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang”.
Dalam penyelenggaraan peradilan baik pada tingkat
penyidikan, penuntutan maupun pengadilan wajib memperhatikan dan
mempertimbangkan hak asasi manusia tersebut, termasuk hak asasi dari tersangka.
Artinya, para pejabat peradilan pada tingkatnya masing-masing tidak boleh
berlaku sewenang-wenang di dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang
diduga melakukan suatu tindak pidana.
Menghormati hak asasi manusia merupakan bagian integral
dalam pelaksanaan yang benar dari setiap sistem peradilan. Hal ini juga telah
diakomodir di dalam Hukum Acara Pidana kita, dimana KUHAP tidak saja mengatur
tentang tata cara yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi oleh aparat penegak
hukum dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, tetapi sekaligus diatur pula
mengenai prosedur dan persyaratan yang harus ditaati oleh aparat penegak hukum
dalam upaya melindungi hak-hak asasi manusia (Kuffal, 1997: 1).
Pengaturan tentang HAM dalam hukum acara pidana kita
sekarang (KUHAP) berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana yang pernah
berlaku, yaitu HIR (Herziene Inlandsch Reglement). KUHAP telah
mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang sederajat
sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh.
Tersangka atau terdakwa ditempatkan dalam posisi “his entity and dignity as
human being”, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Hukum mesti ditegakkan, namun dalam pelaksanaannya hak asasi
manusia yang melekat pada diri tersangka atau terdakwa “tidak boleh
ditelanjangi”.
KUHAP telah memberikan pedoman kepada aparat penegak hukum
untuk mempergunakan prinsip-prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan,
dimana tersangka atau terdakwa harus dianggap sebagai subyek hukum yang
memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Tidak diperkenankan lagi proses
pemeriksaan dilakukan dengan cara-cara yang pernah dilakukan seperti jaman HIR
yang berpedoman pada prinsip inkusitur atau inquisitorial system”,
dimana tersangka atau terdakwa dianggap sebagai obyek yang dapat diperlakukan
dengan sewenang-wenang.
sumber :
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan
HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum
pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Ridwan HR, 2006, Hukum
Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
konsep negara hukum
Secara jelas tersirat dalam UUD 1945
hasil amandemen Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Dalam konsep Negara hukum selalu menjunjung tinggi adanya
sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak
rakyat. Sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman (dalam Satjipto Rahardjo,
1978: 12) dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu:
1. Substansi Hukum; yang menyangkut isi
daripada hukum, terdiri dari aturan-aturan, norma-norma hukum dan lain
sebagainya
2. Struktur Hukum; yang menyangkut
tentang kelembagaan dari pada hukum
3. Budaya Hukum; menyangkut tentang
nilai-nilai dan sikap-sikap baik aparat penegak hukum maupun masyarakat itu
sendiri.
Dalam suatu Negara Hukum ketiga Sistem
Hukum ini mesti berjalan secara seimbang dan selaras. Aturan hukumnya harus
baik, kelembagaan juga baik dan yang tidak kalah pentingnya adalah budaya
hukumnya. Kasus Bank Century, penggelapan pajak yang terjadi belakangan ini
cenderung menunjukkan bahwa budaya hukum kita kurang menunjukkan dukungan
terhadap berjalannya sistem hukum dengan baik. Budaya hukum yang dimaksud
menyangkut tentang nilai dan sikap dari oknum aparat penegak hukum dan oknum
aparat birokrasi kita yang cenderung berperilaku korup, tidak terpuji dan
melanggar hukum. Hal ini terkait dengan mentalitas dan moralitas daripada oknum
aparat penegak hukum dan oknum aparat birokrasi kita.
Dalam Negara Hukum perilaku aparat
penegak hukum dan juga aparat birokrasi kita harus selalu didasarkan kepada
aturan perundang-undangan yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan baik kepada
Tuhan, masyarakat dan juga kepada hukum itu sendiri. Menurut Sri Soemantri
(dalam Mien Rukmini, 2003: 37) bahwa Negara Hukum mengandung empat unsur
penting, yaitu:
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya harus berdasar atas hukum/peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM).
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam
Negara
4. Adanya pengawasan (dari badan-badan
peradilan).
Unsur yang pertama harus dapat
dijadikan sebagai landasan berpijak bagi semua aparat baik aparat penegak hukum
maupun aparat birokrasi, sehingga perilaku-perilaku yang bersifat korup dan melanggar
hukum dapat dihindarkan. Dalam suatu buku yang lain, Lawrence M Friedman dan
Stewart Macaulay (tt: 754) juga menyatakan bahwa sebuah masyarakat yang
kompleks harus menggunakan peraturan atau hukum sebagai alat untuk mengatur
anggotanya, karena:
1. Peraturan atau hukum mungkin terkait
dengan melaksanakan/mengerjakan kebijakan umum, mereka (peraturan) akan mencoba
untuk menyalurkan sikap dengan merencanakan wilayah yang diijinkan dan tindakan
yang dilarang dalam kehidupan setiap hari.
2. Peraturan hukum bisa memaksakan
sanksi pada mereka yang menyimpang dari norma
3. Peraturan bisa memohon atau
mempergunakan beberapa strategi dalam hubungannya dengan penyimpangan terhadap
norma-norma yang berlaku.
Berkaitan dengan uraian diatas maka
hukum harus dapat dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga bisa mengubah pola kehidupan dan sikap oknum masyarakat dan oknum
aparat yang cenderung menyimpang dari norma hukum itu sendiri. Teori hukum yang
relevan dalam hal ini adalah Teori Rekayasa Sosial “Law as a tool of social
engineering” dari Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa hukum sebagai alat
untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (Darji Darmodiharjo dan Shidarta,
2004: 130).
Praktek hukum yang ada belakangan ini
justru menunjukkan gejala bahwa “hukum hanyalah digunakan sebagai suatu alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Ada faktor-faktor di luar hukum yang
justru memberikan pengaruh dan tekanan yang sangat besar terhadap proses
penegakan hukum itu sendiri. Apakah hal ini hanyalah inspirasi penulis ataukah
merupakan suatu kenyataan yang mesti kita terima, barangkali memerlukan
penelitian dan pengkajian lebih mendalam lagi. Paling tidak secara kasat mata
kita melihat bagaimana Pansus Century yang prosesnya disiarkan secara live
telah menggemparkan dan mencuri perhatian seluruh segi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak hanya perhatian masyarakat, perhatian pejabat-pejabat
birokrasi dan pejabat penegak hukum semua mengarah kepada Pansus yang dibentuk
DPR, apalagi oknum-oknum pejabat yang diduga terlibat dengan Skandal Bank
Century. Secara psikologis tentu hal ini memberikan dampak-dampak yang lain
terhadap penyelenggaraan negara dan penegakan hukum di negara kita.
Proses yang begitu menggembarkan
ternyata tidak diikuti oleh penyelesaian yang diharapkan oleh kita semua. Out
put daripada Pansus Century hanya sampai kepada sebuah rekomendasi yang
pada akhirnya mengarah kepada penegakan hukum, hal ini merupakan suatu
kewajiban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum meskipun tidak ada
rekomendasi dari Pansus Century. Berbarengan dengan berakhirnya Pansus ini,
menyebar lagi skandal LC Fiktif yang diduga melibatkan oknum anggota DPR yang
notabene sebagai inisiator hak angket DPR. Ada apa dengan semua ini ?,
mental-mental siapa yang patut dipertanyakan dalam hal ini. Kata kuncinya
adalah semua harus dibongkar, penegakan hukum harus dijalankan secara adil.
Contoh yang lain, dimana tekanan faktor
di luar hukum yang memperlihatkan pengaruhnya pada penegakan hukum adalah
rekomendasi Tim 8 yang seolah-olah menganggap Bibit dan Candra tidak bersalah,
dan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kejaksaan untuk
membebaskan kedua tersangka tersebut. Kejaksaan mengeluarkan SKP2 (Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan) yang didasarkan pada Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyatakan bahwa “Dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup
demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”.
Faktanya kasus bibit-candra menurut jaksa sudah sampai pada tahap P21, artinya
perkara tersebut sudah dianggap lengkap dan siap dilimpahkan kejaksaan. Dari
fakta ini, secara hukum apakah mungkin ketiga alasan dalam Pasal 140 ayat (2)
huruf a tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengeluarkan SKP2.
Pengalaman yang ada dan
kenyataan-kenyataan yang telah dihadapi hendaknya menjadi renungan bagi kita
bersama, apakah ini yang disebut Negara Hukum ataukah kita sedang berada atau
menuju kepada sebuah Negara Kekuasaan. Fenomena ini hendaknya menjadi perhatian
kita bersama, kalau melihat dari Struktur Hukum yang ada, kelembagaan hukum di
negara kita sudah sangat lengkap. Dalam Sistem Peradilan Pidana sudah ada
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan juga advokat.
Disamping itu ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang khusus menangani
Tindak Pidana Korupsi, ada pengadilan Tipikor. Disisi yang lain ada Komisi
Yudisial yang mengawasi perilaku hakim, ada komisi-komisi yang lain, ada
Mahkamah Konstitusi. Apa fungsi dan tugas mereka kalau kemudian dibentuk lagi
Satgas Mafia Hukum, bukankah pengawasan mengenai perilaku aparat penegak hukum
sudah ada Komisi Yudisial dan komisi-komisi yang lain. Tidakkah pembentukkan
Satgas Mafia Hukum sebagai wujud ketidakpercayaan pemangku kekuasaan terhadap
proses penegakan hukum yang ada, mudah-mudahan tidaklah demikian.
sumber:
sumber:
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan
HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum
pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 1978, Permasalahan
Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)