- Sejarah Perjuangan Kesetaraan gender di tingkat internasional
Berdasarkan kodrati penciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
manusia diciptakan
berpasang-pasangan
yang terdiri atas perempuan dan laki-laki yang saling
membutuhkan
satu sama lainnya. Keduanya diciptakan berbeda agar bisa saling
melengkapi
sebagai makhluk sosial guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru
yang
lebih kuat, dan bermanfaat.
Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandasi
awal mulainya
perjuangan
kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Perjuangan kesetaraan dan
keadilan gender sedang menjadi isu global yang
sangat menarik perhatian dunia. .
Pada tahun 1957
diadakan sidang umum PBB untuk pertama kalinya, mengeluarkan sebuah resolusi tentang
partisipasi perempuan dalam pembangunan, yang disusul dengan resolusi tahun
1963 yang secara khusus mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial
ekonomi nasional.
Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran
perempuan akan
ketertinggalannya
dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk
mengejar
ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep emansipasi
(kesamaan)
antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan
global
yang dipelopori oleh perempuan dan berhasil mendeklarasikan melalui badan
ekonomi
sosial PBB (ECOSOC) yang diakomodasi Pemerintah Indonesia dengan
dibentuknya
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).
Selanjutnya di Mexico
City (1975) diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama
tentang Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB
dan diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Tahun 1975 dinyatakan
oleh PBB sebagai tahun internasional perempuan. Dapat dikatakan bahwa
konferensi dunia I merupakan langkah awal dari consensus internasional mengenai
hak-hak perempuan.
Diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status
perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek
kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat hasil pembangunan. Untuk
meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan
kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai. Kesempatan
kerja perempuan belum membaik,
beban
kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir
pemikiran
bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di
dalam
dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan
struktural
yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang kerelasi sosial yang setara
dimana
keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang
menyangkut
kehidupan keluarga.
Tahun 1976-1985 ditetapkan oleh
PBB sebagai dasawarsa PBB bagi perempuan.
Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang
perempuan yang kedua World Conference UN Mid-Decade of Women di
Kopenhagen, untuk melihat
kemajuan
dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan
perempuan
dalam pembangunan. Kemudian dalam konferensi tersebut disahkan UN
Convention
On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang menganjurkan agar Negara anggota
meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World
Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the
Advancement of Women. Salah
satu
kesepakatan
Nairobi adalah
bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk
mengkaji
mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di
berbagai
bidang kehidupan.
Selanjutnya
PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women
(UNIFEM), untuk
melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan
kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai
studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan
diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan
pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
merekomendasikan
bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan
tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan
gender
yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).
ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995,
konferensi dunia
tentang
perempuan yang keempat di Beijing
telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu
mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. Adapun kedua belas isu kritis
tersebut yaitu :
- Perempuan dan kemiskinan
- Perempuan dan pendidikan/ pelatihan.
- Perempuan dan kesehaan.
- Tindak kekerasan terhadap perempuan.
- Perempuan dan ekonomi.
- Perempuan dan konflik bersenjata.
- Perempuan dan pengambilan keputusan.
- Mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan.
- Hak azazi perempuan.
- Perempuan dan media massa.
- Perempuan dan lingukungan hidup
- Anak perempuan.
World
Conference On Women Beijing
menyepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan status dan
peranan perempuan dalam pembangunan yang dimulai dari perumusan kebijakan,
pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil-hasil pembangunan (Beijing
Platform for Action).
Pada tahun 2000
dalam sidang tahunan PBB ditetapkan delapan tujuan yang akan dicapai oleh
Millenium Development Goals (MDGs) .Kesetaraan dan keadilan gender merupakan
salah satu tujuan dari delapan tujuan global negara-negara sedunia yang
berkomitmen dalam MDGs tersebut.
Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu:
(1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan,
(2) Mewujudkan pendidikan dasar,
(3) Meningkatkan persamaan gender dan
pemberdayaan
perempuan,
(4) Mengurangi angka kematian bayi,
(5) Meningkatkan kesehatan ibu,
(6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
lainnya,
(7) Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, dan
(8) Mengembangkan
kemitraan global dalam pembangunan
Selain itu masih
ada kesepakatan internasional yang mendukung kesetaraan gender, kesepakatan
tersebut adalah :
1974 Kebijakan kependudukan
(bukares) : Menetapkan peran sentral perempuan dalam kebijakan kependudukan.
1979
Konvensi atas penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
( UN
Convention On The Elimination Of All
Forms Of Discrimination Against Women
(CEDAW)
1979 Konvensi hak-hak anak ( convention on the
rights of the child)
1994 Deklarasi Wina (
Konferensi Dunia tentang HAM, Wina) menyetujui program aksi untuk mendesak
pemerintah dan PBB agar menjamin persamaan hak dan perempuan, serta menekankan
pentingnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
B. Sejarah
Perjuangan Kesetaraan Gender di tingkat Nasional
Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender
sedang menjadi isu global yang
sangat menarik
perhatian dunia baik di tingkat global maupun di Indonesia.
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan
salah satu tujuan dari delapan tujuan
global negara-negara sedunia yang berkomitmen
dalam Millenium Development Goals (MDGs).
Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu:
(1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan,
(2) Mewujudkan pendidikan dasar,
(3) Meningkatkan persamaan gender dan
pemberdayaan
perempuan,
(4) Mengurangi angka kematian bayi,
(5) Meningkatkan kesehatan ibu,
(6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
lainnya,
(7) Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, dan
(8) Mengembangkan kemitraan global dalam
pembangunan.
Merujuk pada tujuan Internasional di atas,
maka VISI Pembangunan Nasional Tahun
2004-2009 diarahkan untuk mencapai;
1.
terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu,
rukun dan damai.
2. terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara
yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. terwujudnya perekonomian yang mampu
menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan
fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya berdasarkan VISI Pembangunan
Nasional tersebut ditetapkan 3 (tiga) MISI
Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009,
meliputi:
Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, dan Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, serta
Mewujudkan Indonesia
yang Sejahtera.
Strategi Pembangunan Indonesia diarahkan pada dua
sasaran pokok yaitu pemenuhan hak dasar rakyat serta penciptaan landasan
pembangunan yang kokoh. Hak-hak dasar rakyat dalam bentuk bebas dari
kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, penindasan, rasa
takut, dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapatnya memperoleh prioritas
untuk diwujudkan. Pemenuhan hak dasar diantaranya adalah hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan (RPJMN, tahun 2004-2009).
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SECARA NASIONAL :
• Meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik
• Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan dan pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas dan sumberdaya perempuan
• Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak
• Menyempurnakan perangkat hukum pidana dalam melindungi setiap individu dari tindakan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi termasuk KDRT
• Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak
• Memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan PUG dan anak dalam tahap pembangunan dari berbagai kebijakan, program di segala bidang termasuk komitmen internal, data terpilah serta partisipasi masyarakat.
STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
• Pengarusutamaan Gender
• Penyerasian hukum dan peraturan perundang-undangan
• Peningkatan koordinasi dan kemitraan
• Penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak di pemerintah dan masyarakat
• Pelaksanaan aksi afirmatif untuk situasi tertentu
• Penguatan jejaring kelembagaan baik tingkat nasional maupun internasional
PROGRAM PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SECARA NASIONAL
• Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan
• Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak
• Peningkatan Kelembagaan PUG dan Anak
• Keserasian kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan
Di Indonesia, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan khususnya
dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sejak Tahun 1908.
Dalam
perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindaklanjuti
oleh
Kongres Perempuan Indonesia
tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Selama pendudukan Jepang aktivitas – aktivitas politik perempuan Indonesia
praktis mengalami kevakuman. Selama revolusi fisik sekurang-kurangnya telah
diadakan lima
kali konngres perempuan . Beberapa keputusan penting pada kongres perempuan
ke-5 tahun 1948 adalah :
1.
Menuntut
kemerdekaan dan kedaulatan R.I sepenuhnya
2.
Meningkatkan
pelaksanaan sumpah pemuda
3.
Undang-undang
perburuhan harus memuat perlindungan terhadap buruh pada umumnya, buruh
perempuan khususnya
4.
Perhatian
yang lebih besar terhadap kesehatan rakyat
5.
Di
bidang ekonomi perlunya membentuk badan-badan koperasi
6.
Pemberantasan
buta huruf dan perlunya pemberian beasiswa terhadap perempuan.
Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian
Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak
hal atas
nama kestabilan Negara. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga)
sebagai organisasi mandiri yang sudah dibentuk sejak 1957,
diselipkan di bawah
asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma
Wanita”, yaitu
perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak,
pengatur rumah
tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai
anggota
masyarakat yang berguna. Semua kewajiban itu dilakukan dalam
konteks cara
pandang sesuai dengan “kodrat wanita”.
Walaupun begitu, isu
emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan
atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional.
Legitimasi
terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “Kemitrasejajaran
perempuan dan lakilaki”,
yang tercantum wacana “Peranan wanita dalam pembangunan” dalam
setiap
Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata
menimbulkan efek
yang lebih berat pada perempuan Indonesia berupa beban ganda.
Tahun 1974,
Undang-Undang tentang Perkawinan akhirnya disahkan, mengakhiri
pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak gagasannya
dicetuskan oleh
gerakan perempuan pada masa kolonial. Tak ada reaksi yang cukup
signifikan atas
pengesahan tersebut.
Disisi lain, sekitar
tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan
kontemporer mulai bersemi dikalangan menengah intelektual. Dikenal
dengan
sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government
Organization
(NGO). Kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup
gerak hingga
ke tingkat internasional, memberi kesempatan untuk bekerjasama
dengan dunia luar.
Periode Reformasi
Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan
kesetaraan
dan keadilan gender di Era Orde Baru agak tenggelam, namun
semangat itu bangkit
kembali sejak Era Kabinet Persatuan Nasional. Walaupun sudah
banyak upaya dan
perjuangan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, baik
di dunia
Internasional maupun di Indonesia, kondisi kesenjangan gender
masih dijumpai.
Pada periode Habibie, satu hal yang perlu dicatat adalah
pembentukan Komisi
Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang
lebih dikenal
dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999
lewat
Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah
tokoh perempuan
kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas
tragedi
kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam perkembangannya hingga
sekarang,
Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif
memasyarakatkan
pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM).
Dalam periode kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid,
dikeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program
Pengarusutamaan
Gender (PUG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai
gencar
menggemakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG).
Pada kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000
dengan
fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan
publik dan
jabatan politik-strategis. Tuntutan kuota 30 persen bagi calon
perempuan untuk
kursi legislative, disetujui dalam Undang-undang Pemilihan Umum
yang baru pada
Pasal 65. Pemilihan Umum pada Tahun 2004, hanya 11 persen
legislatif perempuan.
Pada tahun yang sama, pasangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
– dan
Wakil Presiden Yusuf Kalla terpilih mengangkat 4 orang perempuan
dalam
kabinetnya.
Sebagai Negara
anggota PBB, Indonesia
berkewajiban untuk meratifikasi konvensi Internasioal tentang perempuan. Maka
konvensi pertama yang diratifikasi adalah CEDAW dengan UU no. 7 tahun 1984.
Selanjutnya upaya untuk menghapus
ketidakadilan gender juga dilakukan dengan mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan yaitu :
·
UU
No 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak
·
UU
No 39 tahun 1999 tantang Hak Azasi Manusia
·
UU
No 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Azasi Manusia
·
UU
No 31 tahun 2002 tentang parai politik
·
UU
No 12 tahun 2003 tentang Pemilu
·
UU
No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Hak Anak
·
UU
No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
·
Keputusan
Presiden RI nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
·
Instruksi
Presiden RI No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional (PUG)
·
Keputusan
Bersama antara Meneg Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial,
dan Kepala Kepolisian Negara RI tahun
mengenai pelayanan terpadu korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak
·
Keputusan
menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang pedoman pengarusutamaan gender (PUG) dalam
pembangunan di daerah
- Sejarah Perjuangan Kesetaraan Gender di tingkat Local dan otonomi daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang undangan. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom membuka peluang
besar bagi penyusunan kebijakan public ditingkat local dalam memecahkan
masalah-masalah khas yang muncul di masing-masing daerah termasuk masalah
perempuan. Kewenangan ini juga membuka peluang bagi partisipasi seluruh
masyarakat,khusus nya perempuan,dalam pengambilan keputusan-keputusan public.
Namun
dalam realitasnya belum semua harapan itu dapat di wujudkan. Ada kalanya otonomi daerah semakin
memperburuk keadaan perempuan,misalnya adanya perda-perda yang dibuat yang
memarginalkan perempuan. Apalagi bila didareah tidak banyak pejuang dan
pemerhati masalah perempuan,maka diasumsikan perjuangan keadilan gendr akan
semakin terabaikan. Karena cukup banyak pemerintah daerah yang mengklaim bahwa
didaerahnya tidak ada masalah perempuan.
Menyuarakan
kepentingan perempuan dalam kebijakan local seharusnya dimaknai dengan tindakan
yang juga relevan bagi kepentingan msyarakat secara umum. Perlunya mendorong
partisipasi perempuan dalam keputusan di tingkat lokla karena saat ini dan
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan lembaga strategis
penentu kebijakan public masih sangat rendah.
Tanpa
partisipasi perempuan yang memadai banyak kebijakan yang kurang berpihak pada
kepentingan perempuan dan anak perempuan. Padahal,perempuan memiliki
kebutuhan-kebutuhan khusus yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perumusan
kebijakan public. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dintaranya:
1. Pemenuhan kesehatan reproduksi,seperti cara KB
yang aman,kesehatan ibu
hamil,
kematian ibu/anak saat melahirkan,dll.
2. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan
termasuk perdagangan perempuan.
3. Pembagian rasa aman bagi perempuan di daerah
wilayah konflik.
4. Penanggulan rencana yang peka gender,termasuk
pelibatan perempuan dalam tahap
tanggap
darurat,rehabilitas.dan rekonstruksi.
5. Persamaan akses terhadap pekerjaan dan
sumberdaya,termasuk bagi perempuan kepala
keluarga.
6. Peningkatan keterwakilan perempuan dalam
lembaga-lembaga strategis sebagai
pengambil
keputusan.
tolong dong daftar pustakanya. biar valid dan unplagiarism
BalasHapustolong dong daftar pustakanya. biar valid dan unplagiarism
BalasHapus