Sabtu, 10 Desember 2011

sejarah perjuangan kesetaraan dan keadilan gender


  1. Sejarah Perjuangan Kesetaraan gender di tingkat internasional
 Berdasarkan kodrati penciptaan Tuhan Yang Maha Esa, manusia diciptakan
berpasang-pasangan yang terdiri atas perempuan dan laki-laki yang saling
membutuhkan satu sama lainnya. Keduanya diciptakan berbeda agar bisa saling
melengkapi sebagai makhluk sosial guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru
yang lebih kuat, dan bermanfaat.
Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandasi awal mulainya
perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
 Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang
sangat menarik perhatian dunia. .
                Pada tahun 1957 diadakan sidang umum PBB untuk pertama kalinya, mengeluarkan sebuah resolusi tentang partisipasi perempuan dalam pembangunan, yang disusul dengan resolusi tahun 1963  yang secara khusus mengakui  peranan perempuan dalam pembangunan sosial ekonomi nasional.
 Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan
ketertinggalannya dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk
mengejar ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep emansipasi
(kesamaan) antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan
global yang dipelopori oleh perempuan dan berhasil mendeklarasikan melalui badan
ekonomi sosial PBB (ECOSOC) yang diakomodasi Pemerintah Indonesia dengan
dibentuknya Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).
 Selanjutnya di Mexico City (1975) diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama tentang Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB dan diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Tahun 1975 dinyatakan oleh PBB sebagai tahun internasional perempuan. Dapat dikatakan bahwa konferensi dunia I merupakan langkah awal dari consensus internasional mengenai hak-hak perempuan.
Diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat hasil pembangunan. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai. Kesempatan kerja perempuan belum membaik,
beban kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir
pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di
dalam dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan
struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang kerelasi sosial yang setara
dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang
menyangkut kehidupan keluarga.
                Tahun 1976-1985 ditetapkan oleh PBB sebagai dasawarsa PBB bagi perempuan.
 Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua World Conference UN Mid-Decade of Women di Kopenhagen, untuk melihat
kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan
perempuan dalam pembangunan. Kemudian dalam konferensi tersebut disahkan UN
Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang menganjurkan agar Negara anggota meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
 Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women. Salah satu
kesepakatan Nairobi adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk
mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di
berbagai bidang kehidupan.
Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
merekomendasikan bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan
gender yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).

ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia
tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. Adapun kedua belas isu kritis tersebut yaitu :
  1. Perempuan dan kemiskinan
  2. Perempuan dan pendidikan/ pelatihan.
  3. Perempuan dan kesehaan.
  4. Tindak kekerasan terhadap perempuan.
  5. Perempuan dan ekonomi.
  6. Perempuan dan konflik bersenjata.
  7. Perempuan dan pengambilan keputusan.
  8. Mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan.
  9. Hak azazi perempuan.
  10. Perempuan dan media massa.
  11. Perempuan dan lingukungan hidup
  12. Anak perempuan.
World Conference On Women Beijing menyepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan status dan peranan perempuan dalam pembangunan yang dimulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil-hasil pembangunan (Beijing Platform for Action).
 Pada tahun 2000 dalam sidang tahunan PBB ditetapkan delapan tujuan yang akan dicapai oleh Millenium Development Goals (MDGs) .Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari delapan tujuan global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam MDGs tersebut.
Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu:
(1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan,
(2) Mewujudkan pendidikan dasar,
(3) Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan
      perempuan,
(4) Mengurangi angka kematian bayi,
(5) Meningkatkan kesehatan ibu,
(6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya,
(7) Pengelolaan lingkungan hidup yang
      berkelanjutan, dan
(8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan
 Selain itu masih ada kesepakatan internasional yang mendukung kesetaraan gender, kesepakatan tersebut  adalah :
1974    Kebijakan kependudukan (bukares) : Menetapkan peran sentral perempuan dalam kebijakan kependudukan.
1979    Konvensi atas penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (  UN
Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women
(CEDAW)
1979    Konvensi hak-hak anak ( convention on the rights of the child)
1994    Deklarasi Wina ( Konferensi Dunia tentang HAM, Wina) menyetujui program aksi untuk mendesak pemerintah dan PBB agar menjamin persamaan hak dan perempuan, serta menekankan pentingnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
  
B. Sejarah Perjuangan Kesetaraan Gender di tingkat Nasional
 Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang
sangat menarik perhatian dunia baik di tingkat global maupun di Indonesia.
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari delapan tujuan
global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium Development Goals (MDGs).
Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu:
(1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan,
(2) Mewujudkan pendidikan dasar,
(3) Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan
      perempuan,
(4) Mengurangi angka kematian bayi,
(5) Meningkatkan kesehatan ibu,
(6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya,
(7) Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan
(8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.

Merujuk pada tujuan Internasional di atas, maka VISI Pembangunan Nasional Tahun
2004-2009 diarahkan untuk mencapai;
1.  terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2. terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya berdasarkan VISI Pembangunan Nasional tersebut ditetapkan 3 (tiga) MISI
Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, meliputi:
Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, dan Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, serta Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera.
Strategi Pembangunan Indonesia diarahkan pada dua sasaran pokok yaitu pemenuhan hak dasar rakyat serta penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. Hak-hak dasar rakyat dalam bentuk bebas dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, penindasan, rasa takut, dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapatnya memperoleh prioritas untuk diwujudkan. Pemenuhan hak dasar diantaranya adalah hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan (RPJMN, tahun 2004-2009).

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SECARA NASIONAL :

      Meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik

      Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan dan pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas dan sumberdaya perempuan

      Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak

      Menyempurnakan perangkat hukum pidana dalam melindungi setiap individu dari tindakan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi termasuk KDRT

      Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak

      Memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan PUG dan anak dalam tahap pembangunan dari berbagai kebijakan, program di segala bidang termasuk komitmen internal, data terpilah serta partisipasi masyarakat.


STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

      Pengarusutamaan Gender

      Penyerasian hukum dan peraturan perundang-undangan

      Peningkatan koordinasi dan kemitraan

      Penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak di pemerintah dan masyarakat

      Pelaksanaan aksi afirmatif untuk situasi tertentu

      Penguatan jejaring kelembagaan baik tingkat nasional maupun internasional

 

PROGRAM PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SECARA NASIONAL

      Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan

      Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak

      Peningkatan Kelembagaan PUG dan Anak

      Keserasian kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan


Di Indonesia, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya
dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sejak Tahun 1908. Dalam
perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindaklanjuti oleh
Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Selama pendudukan Jepang aktivitas – aktivitas politik perempuan Indonesia praktis mengalami kevakuman. Selama revolusi fisik sekurang-kurangnya telah diadakan lima kali konngres perempuan . Beberapa keputusan penting pada kongres perempuan ke-5 tahun 1948 adalah :
1.      Menuntut kemerdekaan dan kedaulatan R.I sepenuhnya
2.      Meningkatkan pelaksanaan sumpah pemuda
3.      Undang-undang perburuhan harus memuat perlindungan terhadap buruh pada umumnya, buruh perempuan khususnya
4.      Perhatian yang lebih besar terhadap kesehatan rakyat
5.      Di bidang ekonomi perlunya membentuk badan-badan koperasi
6.      Pemberantasan buta huruf dan perlunya pemberian beasiswa terhadap perempuan.

Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas
nama kestabilan Negara. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga)
sebagai organisasi mandiri yang sudah dibentuk sejak 1957, diselipkan di bawah
asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma Wanita”, yaitu
perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah
tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota
masyarakat yang berguna. Semua kewajiban itu dilakukan dalam konteks cara
pandang sesuai dengan “kodrat wanita”.
        Walaupun begitu, isu emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan
atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional. Legitimasi
terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “Kemitrasejajaran perempuan dan lakilaki”,
yang tercantum wacana “Peranan wanita dalam pembangunan” dalam setiap
Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata menimbulkan efek
yang lebih berat pada perempuan Indonesia berupa beban ganda.
        Tahun 1974, Undang-Undang tentang Perkawinan akhirnya disahkan, mengakhiri
pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak gagasannya dicetuskan oleh
gerakan perempuan pada masa kolonial. Tak ada reaksi yang cukup signifikan atas
pengesahan tersebut.
        Disisi lain, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan
kontemporer mulai bersemi dikalangan menengah intelektual. Dikenal dengan
sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization
(NGO). Kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup gerak hingga
ke tingkat internasional, memberi kesempatan untuk bekerjasama dengan dunia luar.

Periode Reformasi
Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan kesetaraan
dan keadilan gender di Era Orde Baru agak tenggelam, namun semangat itu bangkit
kembali sejak Era Kabinet Persatuan Nasional. Walaupun sudah banyak upaya dan
perjuangan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, baik di dunia
Internasional maupun di Indonesia, kondisi kesenjangan gender masih dijumpai.
Pada periode Habibie, satu hal yang perlu dicatat adalah pembentukan Komisi
Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang lebih dikenal
dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999 lewat
Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan
kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedi
kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam perkembangannya hingga sekarang,
Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan
pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam periode kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid, dikeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan
Gender (PUG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar
menggemakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG).
Pada kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan
fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan
jabatan politik-strategis. Tuntutan kuota 30 persen bagi calon perempuan untuk
kursi legislative, disetujui dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang baru pada
Pasal 65. Pemilihan Umum pada Tahun 2004, hanya 11 persen legislatif perempuan.
Pada tahun yang sama, pasangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono – dan
Wakil Presiden Yusuf Kalla terpilih mengangkat 4 orang perempuan dalam
kabinetnya.
        Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia berkewajiban untuk meratifikasi konvensi Internasioal tentang perempuan. Maka konvensi pertama yang diratifikasi adalah CEDAW dengan UU no. 7 tahun 1984. Selanjutnya upaya untuk menghapus  ketidakadilan gender juga dilakukan dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yaitu :
·         UU No 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak
·         UU No 39 tahun 1999 tantang Hak Azasi Manusia
·         UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Azasi Manusia
·         UU No 31 tahun 2002 tentang parai politik
·         UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu
·         UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Hak Anak
·         UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
·         Keputusan Presiden RI nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
·         Instruksi Presiden RI No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional (PUG)
·         Keputusan Bersama antara Meneg Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Kepala Kepolisian Negara RI tahun  mengenai pelayanan terpadu  korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
·         Keputusan menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang  pedoman pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan di daerah

  1. Sejarah Perjuangan Kesetaraan Gender di tingkat Local dan otonomi daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom membuka peluang besar bagi penyusunan kebijakan public ditingkat local dalam memecahkan masalah-masalah khas yang muncul di masing-masing daerah termasuk masalah perempuan. Kewenangan ini juga membuka peluang bagi partisipasi seluruh masyarakat,khusus nya perempuan,dalam pengambilan keputusan-keputusan public.
                Namun dalam realitasnya belum semua harapan itu dapat di wujudkan. Ada kalanya otonomi daerah semakin memperburuk keadaan perempuan,misalnya adanya perda-perda yang dibuat yang memarginalkan perempuan. Apalagi bila didareah tidak banyak pejuang dan pemerhati masalah perempuan,maka diasumsikan perjuangan keadilan gendr akan semakin terabaikan. Karena cukup banyak pemerintah daerah yang mengklaim bahwa didaerahnya tidak ada masalah perempuan.
                Menyuarakan kepentingan perempuan dalam kebijakan local seharusnya dimaknai dengan tindakan yang juga relevan bagi kepentingan msyarakat secara umum. Perlunya mendorong partisipasi perempuan dalam keputusan di tingkat lokla karena saat ini dan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan lembaga strategis penentu kebijakan public masih sangat rendah.
                Tanpa partisipasi perempuan yang memadai banyak kebijakan yang kurang berpihak pada kepentingan perempuan dan anak perempuan. Padahal,perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perumusan kebijakan public. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dintaranya:
1. Pemenuhan kesehatan reproduksi,seperti cara KB yang aman,kesehatan ibu
    hamil, kematian ibu/anak saat melahirkan,dll.
2. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan termasuk perdagangan perempuan.
3. Pembagian rasa aman bagi perempuan di daerah wilayah konflik.
4. Penanggulan rencana yang peka gender,termasuk pelibatan perempuan dalam tahap
    tanggap darurat,rehabilitas.dan rekonstruksi.
5. Persamaan akses terhadap pekerjaan dan sumberdaya,termasuk bagi perempuan kepala
    keluarga.
6. Peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga strategis sebagai
    pengambil keputusan.     

2 komentar:

  1. tolong dong daftar pustakanya. biar valid dan unplagiarism

    BalasHapus
  2. tolong dong daftar pustakanya. biar valid dan unplagiarism

    BalasHapus