Sabtu, 18 Februari 2011 saya bersama
dua rekan saya yang inisial namanya adalah NM dan PNA mulai berangkat menuju
sebuah kota yang paling sumpek dan sedikit lebih maju dibanding kota-kota
lainnya di tanah air ini. Kota yang “serba ada” ini dinamakan dengan Jakarta. Tujuan keberangkatan kami ke kota yang katanya
berstatus sebagai kota metropolitan yang sedang dirancang menuju kota
megapolitan tersebut tidak lain adalah untuk mengikuti intermediate training
Himpunan mahasiswa Islam ( LK 2 HmI). Secara konsep, tujuan LK 2 adalah agar
para kader memiliki kesadaran intelektual yang kritis, dinamis, progresif, dan inovatif dalam memperjuangkan misi HmI serta
memiliki kemampuan manajerial dalam berorganisasi . Dan alasan kenapa saya
memilih pada waktu dan tempat tersebut, cukup saya dan beberapa orang saja yang
tahu.
Malam sebelum keberangkatan, tak
sedetikpun mata ini terpejam. Persiapan sangat tidak matang. Baik berupa
persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut, maupun perlengkapan pribadi yang
semuanya masih tersusun rapi di dalam lemari. Dan jelas ini semua adalah karena
kelalaian saya juga.
Tiket pesawat sudah dipesan untuk
keberangkatan pukul 08.30 wib. Kesepakatan awal, kami berkumpul jam enam di
kampus merah kesayangan. Tapi nyatanya, terlalu banyak alasan yang menyebabkan
kesepakatan itu tidak berjalan semestinya. Akhirnya kami berangkat dari kampus
sekitar pukul 07.30 wib, itupun hanya berdua, saya dengan PNA. Ada apa dengan
NM? Kenapa sudah menyengat sinar mentari, beliau tidak juga muncul? Dan karena
mengingat waktu juga kamipun berangkat menuju Bandara Internasional Minangkabau
(BIM) tanpa harus menunggu NM tiba di kampus dulu. Cukup dengan menunggu di
persimpangan dekat rumahnya, karena kebetulan jalan menuju bandara melewati
rumah NM.
Nyaris telat. Tepat pada pukul 08.00
kami tiba di bandara. Segera kami lakukan boarding pass. Dan menunggu
keberangkatan menuju kota yang menurut kami “wah” tersebut.
Di pesawat yang kebetulan
penumpangnya tidak penuh, kami berpencar untuk tempat duduk. Setelah lepas
landas, kami mulai berkelana mencari tempat yang menurut kami nyaman untuk
menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam tersebut. Ketika menoleh kepada kedua
rekanku, tampak jelas mereka mengeluh dengan mulut yang komat kamit mengatakan “gak
asik ah naik pesawat. Bising. Bikin ngantuk,dsb.” Saya pun tersenyum simpul
menanggapi komentar itu.
Sesampai di bandara internasional
Soekarno-Hatta, dengan sangat percaya diri kami melangkahkan kaki sambil
menarik travel bag menuju jalan keluar. Sok tahu atau mungkin tidak mau
bertanya, mengantarkan kami ke bengkel pesawat. Dalam kata lain “nyasar” di
bandara. Malu-maluin?? Gak segitunya juga kok, karena kami penumpang pertama
turun, yang mana perjalanan kami diikuti oleh penumpang lainnya. Dengan kata
lain, hampir semua penumpang juga nyasar. Yang katanya mau keluar, gak taunya
sampai di bengkel pesawat juga. Jadi, yang mau disalahin siapa? Siapa suruh
ngikutin???
Putar-putar bandara, akhirnya kami
keluar juga. Sesampai di luar, saya segera meminta kepada rekan saya NM untuk
mengeluarkan proposal kegiatan LK2 tersebut guna melihat kemana tujuan kami
berikutnya. Tapi ternyata NM mengatakan bahwa proposal tersebut tertinggal di
Padang. Akhirnya NM pun menelepon rekan kami yang di Padang, yang memegang
proposal tersebut. Informasi yang didapat bahwa LK2 berlangsung di Graha Insan
Cita (GIC) Depok.
Tanpa buang-buang waktu, segera kami
berjalan menuju Depok. Setiba di persimpangan yang saya tidak tahu entah
simpang apa namanya, yang jelas sudah memasuki Depok, panitia segera kami
hubungi. Ia mengatakan bahwa kami harus mengikuti screening dulu di Cilosari, dekat
STIE Tri Dharma widya. Yang menghubungi panitia masih rekan saya NM. Entah
karena kebisingan lalu lintas menyebabkan informasi tersebut tidak begitu jelas
kami terima. Awalnya kami mengira panitia mengatakan bahwasanya kegiatan itu
dilaksanakan di dekat Universita Guna Dharma. Ya sudah. Kami langsung tanyakan
kepada beberapa pedagang yang keberadaannya tidak jauh dari kami, tentang
bagaimana caranya menuju Universitas GunaDharma?????
Cukup dengan jalan kaki beberapa
menit saja, kami sampai di kampus yang dimaksud. Kembali kami menghubungi
panitia. Dan ternyata panitia mengatakan bukan di sana tempatnya. Tapi di dekat
kampus yang ada di Cilosari, Cikini. panitia menyarankan agar kami naik kereta
saja dari stasiun UI. Perjalanan dilanjutkan. Stasiun UI menjadi tujuan
pertama. Sesampai di stasiun kami memesan 3 tiket menuju cikini.
Lama sekali menunggu. Kereta tak juga
datang. Hingga akhirnya, sekitar 45 menit kemudian, sebuah kereta akhirnya lewat. Saya perhatikan
kereta tersebut secara keseluruhan. Mewah sekali kereta ini. Tanpa pikir
panjang, kami pun masuk ke dalam gerbong kereta tersebut. Saya terus saja
berfikir. Kenapa kereta yang segini mewah harga tiketnya Cuma Rp.1.500,-/orangnya
? Tapi ah, gak peduli. Yang penting nyaman. Tak lama kemudian tiga orang
berpakaian rapi menghampiri kami dan meminta agar kami menunjukkan tiket . Dan
ternyata…………….
Kami salah naik kereta.Hahahaaa.
Sangat memalukan. Ditonton oleh banyak penumpang, Bapak yang berpakaian rapi
tadi meminta agar kami segera membayar denda atau turun di stasiun berikutnya.
Mulut saya dan rekan saya PNA seolah terkunci. Tapi tidak pada NM. NM dengan
jurus wajah tanpa dosa (watados) nya berhasil meluluhkan hati bapak tadi yang
tentunya menyelamatkan kami.Denda yang kami bayar turun drastis. Cukup 25 %
dari denda yang seharusnya. Dan perjalanan dengan kereta yang mewah bisa
dilanjutkan hingga sampai di tujuan.
Sangat bersyukur kami turun di
stasiun yang tepat. Yaitu stasiun Cikini. Tapi apa yang terjadi?? Yang kami
ingat tujuan kami adalah ke singosari, bukan cilosari. Bertanya kepada
orang-orang dimana singosari itu, mereka menunjukkan agar kami naik metromini……(saya
lupa)… dan oplet ….. (juga lupa saya) . Mengantarkan kami ke suatu tempat “antah
barantah”. Cukup lelah. Perjalanan ini seperti tak berujung. Tak jelas hitam
dan putihnya. Dan yang pasti, kami tak mau lagi menghubungi panitia.
Hari semakin senja. Tempat yang
dimaksud tak jua ditemukan. Begitu luas
Jakarta. Dan dengan semangat yang mulai memudar, perjalanan tetap kami
lanjutkan. Dengan tampang keruh, penuh keringat, dan langkah yang semakin
pelan,kami harus menarik travel bag di
trotoar ibukota.
Dalam kelelahan, kami bertemu dengan
polisi yang sedang sibuk mengatur lalu lintas. Kamipun memberanikan diri untuk
bertanya kepada polisi tentang alamat yang di tuju. Beliau menunjukkan agar
kami menaiki kendaraan A, dan berhenti sekitar dua kali “lampu merah”
lagi. Dan dengan tegas, kami sepakat
untuk tidak naik kendaraan apa-apa lagi. Kami memutuskan untuk menempuh
perjalanan itu dengan jalan kaki saja. Tak mau nyasar untuk yang kesekian
kalinya, adalah alasan yang sangat kuat atas pilihan ini.
Langkah demi langkah kami lalui. Tak
peduli orang menilai apa tentang kami. Bertanya di setiap persimpangan jalan,
dan menertawakan diri sendiri. Hingga Tepat ketika adzan magrib berkumandang,
kibaran bendera hijau hitam kami temukan di sebuah gedung yang beralamat di
Cilosari tersebut. Akhirnya sampai juga .Ya, kami memang salah menangkap
informasi sebelumnya. Kami kira di singosari dekat universitas guna dharma. Tapi
gak tahunya di Cilosari dekat STIE Tri dharma. Dan yang paling menyebalkan,
ternyata gedung yang dimaksud letaknya tidak jauh dari stasiun cikini tempat kami
turun kereta tadi. Cukup dengan jalan kaki saja. .. Tapi mau apalagi,
pengalaman unik ini, merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Semoga bagi teman yang lain juga …
^_^