Sabtu, 10 Desember 2011

gender dan pendidikan


  1.  DASAR HUKUM

Produk hukum Internasional CEDAW (Convention on the Elimination off All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Peraturan itu merupakan dasar hukum yang paling mendasar yang menjamin perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam hal pendidikan.
Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan, bahwa kesempatan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin; agama; suku; ras; kedudukan sosial; tingkat kemampuan ekonomi dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan. Oleh karena itu, maka perlu melakukan: pertama, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan; kedua, melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik.
Secara sederhana pendidikan memberikan arti sebagai suatu proses perubahan perilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu. Proses ini dapat ditempuh melalui pendidikan formal dan non formal. Oleh karena jalur pendidikan secara umum tidak mengenal diskriminasi, maka terhadap kaum perempuan jalur pendidikan merupakan langkah yang strategis di dalam pemberdayaan perempuan.
Dalam Pasal 14 ayat 2 butir (d) CEDAW (Convention on the Elimination off All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, disebutkan:

Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan keterampilan teknik mereka.

Pasal tersebut secara implisit memberikan isyarat, bahwa pendidikan formal dan non formal merupakan bagian dari upaya pemberdayaan perempuan yang cukup strategis. Salah satu jenis pendidikan yang cukup strategis dalam upaya pemberdayaan tersebut ialah melalui jalur pendidikan hukum. Pendidikan formal hukum dapat membentuk, sekaligus menempatkan perempuan dalam konsep “link and match”. Selanjutnya, melalui konsep tersebut diharapkan perempuan dapat turut serta menjadi perumus kebijakan dan pelaksanaan pembangunan hukum. Dengan demikian, undang-undang tidak lagiberpihak pada kaum laki-laki saja, sekaligus dapat memperbaiki citra perempuan sebagai akibat
pemahaman dan penerapan struktur sosial dan budaya masyarakat.
Di dalam UUD 1945 dan GBHN di antaranya diamanatkan, bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan,
termasuk pembangunan di bidang pendidikan (kondisi normatif).
Pasal 31 UUD 1945 menjelaskan, setiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Di sana tampak jelas adanya kesetaraan gender untuk memperoleh pendidikan. Perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Bahkan Unicef menyebutkan, Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal kesetaraan di tingkat pendidikan dasar, SD dan SMP. Meski demikian, berbagai data masih menunjukkan adanya kesenjangan perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, hukum, politik dan lainnya.


Adapun landasan hukum lain yang mengatur tentang masalah perempuan dan pendidikan terdapat dalam:
  1. Ipres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender.
  2. Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN tahun 2004-2005.
  3. Keputusan dirjen PLSP tentang kelompok Kerja Pengarustamaan Gender Pendidikan Depdiknas.
  4. Hasil kesepakatan Konfrensi Dunia Tentang Education for All, Convention On the Right of Child, MGD’s, World Summit on Sustainable Developmet.
  5. Berbagai kesepakatan Internasional tentang Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan.


  1. TEORI YANG MELANDASI

Stuktur pendidikan pada akhirnya turut menentukan pola kehidupan perempuan.Menjadi laki-laki atau perempuan digambarkan dalam konteks peran-peran, naskah-naskah dan proses pendidikan.Disamping kurikulum formal, sekolah menyediakan arena untuk menyampaikan gagasan-gagasan, nilai-nilai, kepercayaan melalui interaksi dengan guru, administrator dan teman-teman sekolah.
Lebih jauh Moore (1996) menjelaskan dalam teori fungsional bahwa:
“Peran sekolah dapat meningkatkan modal sosial”
Ternyata peningkatan modal sosial antara perempuan dan laki-laki tidak mengalami persamaan dalam dunia kerja.Pasar lebih menyukai tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan yang memiliki pendidikan yang sama dengan laki-laki tersebut.
Teori konflik juga menjelaskan bahwa: “Kurikulum mengandung bias kultural yang kadang kala mendistrosi perempuan dan dimensi-dimensi kehidupan yang penting buat perempuan.

Ada tiga macam paradigma yang mewarnai gerak langkah pendidikan:
  1. Paradigma konservatif yang menyebutkan ketidaksetaraan merupakan hukum alam dan oleh karenanya mustahil untuk dihindari.
  2. Paradigma liberal yang menganggap bahwa persoalan ekonomi politik tidak berkaitan langsung dengan pendidikan.
  3. Paradigma kritis yang memandang pendidikan sebagai arena perjuangan politik.Pendidikan dengan paradigma ini mengagendakan perubahan struktur secara fundamental di dalam masyarakat.
 Selanjutnya permasalahan gender dalam dunia pendidikan dapat dilihat melalui empat hal, yaitu:
  1. Akses
Akses adalah sulitnya anak perempuan untuk sekolah kejenjang yang lebih tinggi karena sekolah tersebut terletak jauh dari tempat tinggal mereka. Anak perempuan menjadi terpaksa tinggal dirumah.

  1. Partisipasi
Partisipasi menyangkut faktor bidang studi yang diminati.Umumnya yang terjadi stereotip bahwa perempuan cenderung memilih sekolah yang dekat dengan perannya sebagai seorang perempuan.
  1. Penguasaan dan Manfaat
Penguasaan dan manfaat dalam proses pembelajaran terlihat masih dipengaruhi oleh stereotip gender. Proses pembelajaran yang dimaksud bias melalui pembelajaran, ilustrasi gambar dan sebagainya.

      Ketimpangan gender di bidang pendidikan dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender sebagaimana adanya (kondisi objektif) di bidang pendidikan (Menteri Negara Peranan Wanita, 1998). Ketimpangan gender disebut juga permasalahan gender atau isu gender. Lebih lanjut kondisi normatif contohnya, kesempatan mengikuti pendidikan formal bagi laki-laki (pria) dan perempuan (wanita) sama. Sedangkan kondisi objektif contohnya, semakin tinggi jenjang pendidikan (SLTP ke atas), jumlah perempuan yang mengikuti pendidikan formal lebih sedikit daripada laki-laki. Pendidikan adalah proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat dibedakan sebagai berikut. (1) Pendidikan formal, yakni pendidikan melalui bangku sekolah, direncanakan, sangat dilembagakan dan bertata tingkat, seperti TK, SD dan seterusnya sampai perguruan tinggi. (2) Pendidikan non formal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah, tetapi direncanakan, seperti penyuluhan, kursus-kursus, penataran dan lainnya. (3) Pendidikan informal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah yang tidak direncanakan, tetapi berlangsung seumur hidup, seperti membaca surat kabar dan media cetak lainnya, mengikuti teladan dari orang tua, mengikuti perilaku dari sahabat atau kerabat, dan lain-lainnya. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah pendidikan formal.

 3. KETIKADILAN GENDER DARI SEGI PENDIDIKAN

Dikemukakan oleh Bemmelen (2003) ketimpangan gender di bidang
pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif: (1) angka buta huruf, (2) angka
partisipasi sekolah, (3) pilihan bidang studi dan (4) komposisi staf pengajar dan
kepala sekolah. Ketimpangan gender dari masing-masing indikator tersebut dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

(1) Angka Buta Huruf
Melek huruf merupakan syarat utama untuk berpartisipasi dalam kehidupan
modern dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pada berbagai belahan
dunia, di antaranya di negara Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara,
masih dijumpai fakta yang mencengangkan mengenai kondisi perempuan. Anak
perempuan atau wanita yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih
rendah 75 juta orang daripada anak laki-laki atau pria dan dari jumlah yang buta
huruf ternyata dua pertiga adalah perempuan. Di Indonesia, jenjang pendidikan
formal juga menunjukkan perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan
formal perempuan secara umum lebih rendah daripada laki-laki (Agung Ariani,2002).

Di Bali, khususnya di pedesaan (daerah desa) masih banyak perempuan yang
tidak lansia umurnya, yakni kelompok umur 10 s.d 44 tahun yang buta huruf jika
dibandingkan dengan laki-laki dalam kelompok umur yang sama. Perempuan
mencapai angka 11,1 %, sedangkan laki-laki 3,5 %. Namun di perkotaan (daerah
kota) ketimpangan gender tidak setajam itu, yakni perempuan mencapai angka 3,6 %
sedangkan laki-laki 1,3 % (Putra Astiti, 2002 dan Bemmelen, 2003).

(2) Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Di Indonesia, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikit
proporsi anak perempuan bersekolah. Sekadar sebagai suatu ilustrasi, dikemukakan
oleh Rajab (2002) data tahun 1990 ratio gender (perbandingan antara laki-laki
dengan perempuan) sebagai berikut. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) 100 : 95;4
untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 100 : 89; untuk Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) 100 : 84 dan untuk Perguruan Tinggi 100 : 69.
Untuk di Bali, Angka Partisipasi Sekolah (APS) dapat diikuti pada Tabel 1.

Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok Umur (Tingkat Pendidikan)
dan Jenis Kelamin di Bali Tahun 2000.

NO
KELOMPOK UMUR/TINGKAT PENDIDIKAN
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
1.

2.

3.

4.
7 s.d 12 / SD

13 s.d 15 / SLTP

16 s.d 18 / SLTA

19 s.d 24 / Perguruan Tinggi
100
(97,2)
100
(88,0)
100
(65,5)
100
(15,2)
100,3
(97,5)
91,6
(80,6)
93,3
(61,1)
76,3
(11,6)


Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase APS

Dari data yang tertuang dalam Tabel 1 dapat dipahami bahwa pada tahun
2000 di Bali sudah tidak ada lagi ketimpangan gender di tingkat SD (kelompok umur
7 s.d 12 tahun), begitu pula harapan kita untuk tahun-tahun yang akan datang
(termasuk pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan tertinggi). Untuk tingkat
SLTP dan SLTA masih terdapat ketimpangan gender, yakni untuk SLTP (kelompok
umur 13 s.d 15 tahun) setiap 100 orang laki-laki terdapat 91,6 orang perempuan dan
untuk SLTA (kelompok umur 16 s.d 18 tahun) setiap 100 orang laki-laki dijumpai
93,3 orang perempuan. Ketimpangan gender yang menonjol terlihat di Perguruan
Tinggi (kelompok umur 19 s.d 24 tahun), setiap 100 orang laki-laki dijumpai 76,3
orang perempuan atau setiap 1.000 orang laki-laki dijumpai 763 orang perempuan.
Kiranya ada tiga alasan pokok yang menyebabkan ketimpangan gender
tersebut. (1) Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah
sekolah. Untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi (SLTP ke atas) yang
umumnya terkonsentrasi di kota, baik laki-laki maupun perempuan harus pergi ke
luar desa atau meninggalkan desa dengan jarak yang relatif jauh. Hal ini
memberatkan orang tua terhadap anak perempuan yang bersekolah jauh, karena akan
merasa kehilangan tenaga kerja yang membantu di rumah. (2) Semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin tinggi biaya yang diperlukan. Bagi keluarga atau rumah
tangga yang berlatar belakang ekonomi lemah (miskin), umumnya lebih
mengutamakan anak laki-laki untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi,
karena tenaga kerja perempuan dibutuhkan di rumah. (3) Investasi pendidikan
formal bagi perempuan kerap kali tidak banyak dirasakan oleh orang tua, karena
anak perempuan setelah menikah akan menjadi anggota keluarga suaminya
(Suleeman, dalam TO. Ihromi 1995).

(3) Pilihan Bidang Studi

Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapat
dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri
(SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah Teknik
Menengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya. Dalam penjurusan
di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotipe
gender, anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajar
yang lebih sedikit daripada anak laki-laki. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak
dipacu belajar dan dibebaskan dari tugas yang berkaitan dengan pekerjaan urusan
rumah tangga.
Berkaitan dengan pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi,
dinyatakan oleh Suleeman (dalam T O. Ihromi, 1995), bahwa proporsi laki-laki dan
perempuan di fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (dalam tahun 1992/1993)
menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan. Di samping itu, dinyatakan oleh
Agung Ariani (2002) umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian
pendidikannya memerlukan waktu pendek dan cepat bisa bekerja. Sebagai alasannya di antaranya, untuk menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan
studi saudara laki-lakinya.

(4) Komposisi Staf Pengajar dan Kepala Sekolah

Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan staf pengajar dan
kepala sekolah. Walaupun dalam tulisan ini tidak ada data kuantitatif, secara
kualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak
didominasi oleh tenaga pengajar perempuan. Sedangkan untuk SD sampai dengan
jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan
daripada tenaga pengajar perempuan. Kecendrungan yang serupa juga terlihat di
kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas.

 Faktor-faktor Penentu Ketimpangan Gender

  1. Faktor Internal
 Faktor internal berarti faktor yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Yang menjadi faktor internal mengapa kaum perempuan terbias gender dengan kaum laki-laki dari segi pendidikan adalah:
    • Sudah hakekatnya kaum perempuan mempunyai daya berpikir  yang sedikit lemah dibandingkan kaum laki-laki.
    • Kepercayaan yang diberikan atas kebebasan terhadap kaum perempuan oleh orang tua lebih kecil ketimbang kaum laki-laki, sehingga akses perempuan mengenyam pendidikan di daerah yang jauh dari keluarganya mengalami hambatan.
    • Sebagian kaum perempuan masih ada yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan itu, karena pemikiran yang masih terpengaruh oleh budaya nenek moyangnya yang menganggap pendidikan bagi kaum perempuan akan sia-sia sebab akan bekerja dalam rumah tangga saja.

  1. Faktor Eksternal

Faktor-faktor penentu ketimpangan gender di bidang pendidikan meliputi (1)
masalah lama, (2) nilai gender yang dianut oleh masyarakat, (3) nilai dan peran
gender yang terdapat dalam buku ajar, (4) nilai gender yang ditanamkan oleh guru
dan (5)kebijakan yang bias gender. Masing-masing faktor itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.

(1) Masalah Lama

Sejak dulu Angka Partisipasi Sekolah anak perempuan lebih rendah daripada
laki-laki dan terfokus pada jenis pendidikan tertentu (Bemmelen, 2003a). Memang
dilihat dari latar belakang sejarah, sejak dulu dari masa ke masa atau dari generasi ke
generasi, perempuan selalu lebih sulit mendapatkan akses ke dalam pendidikan
formal. Padahal, arti penting pendidikan formal bagi perempuan sudah dirasakan
sejak lama. Hal ini sejalan dengan pemikiran R.A Kartini melalui perjuangan
emansipasinya, yakni menginginkan pendidikan formal perempuan yang sama
dengan laki-laki. Dirasakan hanya melalui pendidikan formal, perempuan akan bisa
berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Menurut R.A. Kartini, laki-laki dan perempuan
mempunyai potensi yang sama, oleh karena itu perempuan akan bisa melangkah
lebih maju apabila diberikan peluang yang sama dengan laki-laki. Dalam pikiran
R.A Kartini, pendidikan formal akan dapat menetralisasikan perbedaan sifat kelakilakian
dan keperempuanan yang merupakan hasil rekayasa budaya itu. Pendidikan
formal diyakininya dapat menghilangkan perbedaan prasangka itu, sehingga yang
tinggal hanyalah kodrati biologisnya.

 (2) Nilai Gender yang Dianut oleh Masyarakat

Berkaitan dengan pendidikan formal, ada dua nilai gender yang menonjol
yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan. “Untuk apa
anak perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga”. “Untuk apa
perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain
juga”.
Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal seperti di
Bali, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol. Pada masyarakat yang berpegang
pada sistem kekerabatan itu, lebih mengutamakan hubungan keluarga dengan garis
laki-laki (ayah) daripada hubungan keluarga dengan garis perempuan (ibu). Dengan
demikian, cendrung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di
dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal.

(3) Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar

Contoh yang klasik mengenai sosialisasi gender melalui buku ajar di
antaranya sebagai berikut. “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. Ibu
berbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”.

Bentuk seksisme lain; gambar-gambar lebih sering menampilkan anak lakilaki
jika dibandingkan dengan anak perempuan dan dalam kegiatan yang lebih bervariasi.

(4) Nilai Gender yang Ditanamkan oleh Guru

Guru merupakan “role model” yang sangat penting di luar lingkungan
keluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsi
tentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsung
atau tidak langsung kepada murid (Bemmelen, 2003b). Berikut ini dikemukakan
beberapa contoh yang membedakan.
a. Dalam hal-hal tertentu guru lebih banyak berinteraksi dengan anak laki-laki,
tetapi dalam hal-hal tertentu lainnya guru lebih banyak berinteraksi dengan anak
perempuan.
b. Dalam memberikan mainan di Taman Kanak-kanak; anak laki-laki diberikan
mainan mobil, sedangkan anak perempuan diberikan mainan boneka.
c. Dalam memberikan pujian; anak laki-laki dipuji karena kemampuan
intelektualnya, sedangkan anak perempuan dipuji karena kerapiannya.
d. Anak perempuan lebih sering disuruh untuk menjalankan peran membersihkan
sesuatu atau meladeni sesuatu daripada anak laki-laki.
e. Guru lebih sering memberikan pujian atau teguran kepada anak laki-laki
daripada anak perempuan. Ini artinya, anak laki-laki lebih banyak mendapat
perhatian daripada anak perempuan.

(5). Kebijakan yang bias gender

Terutama di tingkat SLTA (SMU, SMK), terdapat kebijakan yang bias
gender seperti (a) anak perempuan yang hamil (karena kecelakaan) dikeluarkan dari
sekolah, sedangkan anak laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun, (b)
tidak dibenarkan anak perempuan yang sudah menikah untuk mengikuti atau
melanjutkan pendidikan di tingkat SLTP atau SLTA.
Kebijakan pengangkatan guru atau kepala sekolah khususnya di tingkat SD,
SLTP dan SLTA yang lebih berorientasi kepada laki-laki dan kebijakan
pengangkatan guru dan kepala TK di TK yang lebih berorientasi kepada perempuan,
juga merupakan kebijakan yang bias gender. Kebijakan itu merupakan pemicu
ketimpangan gender, karena berimplikasi kepada komposisi personalia pengajar dan
kepala sekolah.
Berkaiatan dengan faktor penentu ketimpangan gender, selain faktor penentu
yang telah diuraikan tersebut, penting pula diperhatikan keluarga yang memiliki
kemampuan ekonomi terbatas dan kurangnya fasilitas pendidikan. Bagi keluarga
yang berlatar belakang ekonomi lemah, cendrung tidak memberikan anak perempuan
untuk memanfaatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Anak
perempuan dinomorduakan dalam mengikuti atau melanjutkan pendidikan formal.
Apabila terjadi hal yang demikian, maka pemerintah yang memiliki komitmen
terhadap peraturan wajib belajar, berkewajiban untuk mengimbanginya dengan
kebijakan yang tepat. Di desa-desa atau daerah-daerah terpencil khususnya, fasilitas
pendidikan masih kurang. Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap akses anak desa
untuk mengikuti pendidikan formal. Jika pada suatu desa tidak ada SD atau SLTP
umpamanya, maka anak-anak terpaksa mengikuti pendidikan formal di luar desa,
yakni di desa lain atau di kota terdekat yang membutuhkan waktu dan biaya
transportasi khusus. Dalam keadaan seperti itu, orang tua cendrung tidak
mengijinkan anak perempuan bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh.
Hal ini terutama terjadi di kalangan keluarga yang tidak mampu secara ekonomis.


  1. PENYELESAIAN KASUS GENDER
Salah satu penyebab ketimpangan gender itu adalah pandangan terhadap laki-laki dan perempuan yang dibuat oleh masyarakat maupun keluarga. Pengaruh stereotip ini begitu besar dan kuat, sehingga tidak mudah untuk diubah, bahkan sudah dianggap sebagai kebenaran umum.
Bias gender dimulai dari keluarga, orang tua sudah mulai membeda-bedakan pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan. Pendidikan di sekolah banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja, pilot selalu ditampilkan laki-laki karena dianggap pekerjaan ini memerlukan kecakapan dan kekuatan yang “hanya” dimiliki laki-laki.
Bias gender di rumah maupun sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa mendatang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan gender bukan berarti meninggalkan kodratnya, namun lebih pada meluruskan pandangan keluarga dan masyarakat yang keliru dalam memberikan peran kepada perempuan dan laki-laki. Bila perlu, di sekolah diberikan pelajaran yang berwawasan gender, sehingga di masa mendatang akan muncul generasi yang memahami kesetaraan gender dan mampu mengurangi bias gender di masyarakat. Ini memerlukan keterlibatan Depdiknas, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Diperlukan pula standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. Salah satu kegiatan yang menarik yang berwawasan gender yaitu lewat lomba-lomba yang memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan anak laki-laki.
Pendidikan kesetaraan gender juga bisa ditampilkan lewat film, video, drama atau teater yang intinya menyadarkan kepada orang tua dan masyarakat bahwa stereotip mereka selama ini tidak selalu benar terhadap ketimpangan gender antara anak laki-laki dan anak perempuan. Misalnya, ditampilkan astronot wanita, ahli masak laki-laki yang sukses, tukang salon laki-laki, ahli tata rias pria, pengemudi bus wanita, atlet angkat besi wanita, dsb. Pada akhirnya keluarga dan masyarakat mampu mengubah pola pandang mereka selama ini terhadap masalah gender ini.
Berdasarkan permasalahan ketimpangan gender yang telah dibahas sebelumnya maka ada beberapa cara untuk  menyelesaikannya, diantaranya:

1)   Mendorong pemerintah dan masyarakat menghadirkan pendidikan yang berbasis keadilan gender.
Seperti halnya yang dilakukan di provinsi jawa tengah daerah Kebumen yang sejak tahun 2000 tealah menempatkan kurikulum program belajar responsive gender ke dalam 4 mata pelajaran di masing- masing sekolah di daerah tersebut, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, Sejarah dan Agama. Dengan adanya kurikulum pengarustamaan gender sangat mendorong perempuan dan laki-laki untuk memiliki peluang yang sama dalam memperoleh akses terhadap pendidikan. Tidak hanya itu, sumber daya pembangunan, serta berpartisipasi dalam proses pembangunan, memiliki control atas sumber daya pembangunan, serta memperoleh menfaat yang lebih meningkat.
                                                                        
2)   Pemerintah harus membuat suatu kebijakan untuk menghapuskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan.
Program ini harus segera dicanangkan  karena jika tidak kesempatan kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan tinggi akan semakin sulit. Pengetahuan perempuan pastinya akan selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Jika keadaannya sudah sedemikain sulit, bagaimana kaum perempuan bisa maju? Dan tak jarang  hal ini akan menimbulkan suatu diskrimasi yang tidak menyenangkan terhadap kaum perempuan.

3)   Menghilangkan kebudayaan dan adat masyarakat yang masih bersifat primitive.
Misalnya adalah adat suatu daerah masyarakat yang masih memarginalkan/ mengagungkan kedudukan laki-laki dibanding perempuan. Hal ini jelas cukup memberi pengaruh besar dalam masalah kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Seperti yang kami katakana tadi, perempuan dan laki-laki memang beda, tapi tidak mesti di beda-bedakan. Sehingga perempuan dalam tatanan kehidupan masyarakat memperoleh perlakuan yang adil. Tidak ada yang terlalu dimarginalkan, tidak ada yang berperan sebagai sumber daya penting, semuanya mempunyai kedudukan yang sama rata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar