- DASAR HUKUM
Produk hukum
Internasional CEDAW (Convention on the Elimination off All Forms of
Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam
UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Peraturan itu merupakan dasar hukum yang paling mendasar yang
menjamin perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam
hal pendidikan.
Kebijakan nasional
menyangkut pendidikan dapat ditelusuri dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan, bahwa kesempatan
pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin; agama;
suku; ras; kedudukan sosial; tingkat kemampuan ekonomi dan tetap mengindahkan kekhususan
satuan pendidikan yang bersangkutan. Oleh karena itu, maka perlu melakukan: pertama,
mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada
setiap jenjang pendidikan; kedua, melakukan pembaharuan sistem
pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk
melayani keragaman peserta didik.
Secara sederhana
pendidikan memberikan arti sebagai suatu proses perubahan perilaku dari yang
tidak tahu menjadi tahu. Proses ini dapat ditempuh melalui pendidikan formal
dan non formal. Oleh karena jalur pendidikan secara umum tidak mengenal
diskriminasi, maka terhadap kaum perempuan jalur pendidikan merupakan langkah
yang strategis di dalam pemberdayaan perempuan.
Dalam Pasal 14 ayat
2 butir (d) CEDAW (Convention on the Elimination off All Forms of
Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, disebutkan:
Untuk memperoleh
segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk
yang berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat
semua pelayanan masyarakat dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan
keterampilan teknik mereka.
Pasal tersebut secara
implisit memberikan isyarat, bahwa pendidikan formal dan non formal merupakan
bagian dari upaya pemberdayaan perempuan yang cukup strategis. Salah satu jenis
pendidikan yang cukup strategis dalam upaya pemberdayaan tersebut ialah melalui
jalur pendidikan hukum. Pendidikan formal hukum dapat membentuk, sekaligus
menempatkan perempuan dalam konsep “link and match”. Selanjutnya,
melalui konsep tersebut diharapkan perempuan dapat turut serta menjadi perumus
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan hukum. Dengan demikian, undang-undang
tidak lagiberpihak pada kaum laki-laki saja, sekaligus dapat memperbaiki citra
perempuan sebagai akibat
pemahaman dan penerapan
struktur sosial dan budaya masyarakat.
Di dalam UUD 1945
dan GBHN di antaranya diamanatkan, bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan,
termasuk pembangunan di
bidang pendidikan (kondisi normatif).
Pasal 31 UUD 1945 menjelaskan, setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran. Di sana
tampak jelas adanya kesetaraan gender untuk memperoleh pendidikan. Perempuan
maupun laki-laki mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Bahkan
Unicef menyebutkan, Indonesia
telah membuat kemajuan dalam hal kesetaraan di tingkat pendidikan dasar, SD dan
SMP. Meski demikian, berbagai data masih menunjukkan adanya kesenjangan
perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi,
ketenagakerjaan, hukum, politik dan lainnya.
Adapun landasan hukum lain yang mengatur tentang
masalah perempuan dan pendidikan terdapat dalam:
- Ipres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender.
- Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN tahun 2004-2005.
- Keputusan dirjen PLSP tentang kelompok Kerja Pengarustamaan Gender Pendidikan Depdiknas.
- Hasil kesepakatan Konfrensi Dunia Tentang Education for All, Convention On the Right of Child, MGD’s, World Summit on Sustainable Developmet.
- Berbagai kesepakatan Internasional tentang Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan.
- TEORI YANG MELANDASI
Stuktur pendidikan pada akhirnya turut menentukan
pola kehidupan perempuan.Menjadi laki-laki atau perempuan digambarkan dalam
konteks peran-peran, naskah-naskah dan proses pendidikan.Disamping kurikulum
formal, sekolah menyediakan arena untuk menyampaikan gagasan-gagasan,
nilai-nilai, kepercayaan melalui interaksi dengan guru, administrator dan
teman-teman sekolah.
Lebih jauh Moore
(1996) menjelaskan dalam teori fungsional bahwa:
“Peran
sekolah dapat meningkatkan modal sosial”
Ternyata
peningkatan modal sosial antara perempuan dan laki-laki tidak mengalami
persamaan dalam dunia kerja.Pasar lebih menyukai tenaga kerja laki-laki
dibandingkan perempuan yang memiliki pendidikan yang sama dengan laki-laki
tersebut.
Teori konflik juga menjelaskan bahwa: “Kurikulum
mengandung bias kultural yang kadang kala mendistrosi perempuan dan
dimensi-dimensi kehidupan yang penting buat perempuan.
Ada tiga macam paradigma yang mewarnai gerak langkah
pendidikan:
- Paradigma konservatif yang menyebutkan ketidaksetaraan merupakan hukum alam dan oleh karenanya mustahil untuk dihindari.
- Paradigma liberal yang menganggap bahwa persoalan ekonomi politik tidak berkaitan langsung dengan pendidikan.
- Paradigma kritis yang memandang pendidikan sebagai arena perjuangan politik.Pendidikan dengan paradigma ini mengagendakan perubahan struktur secara fundamental di dalam masyarakat.
Selanjutnya permasalahan gender dalam dunia
pendidikan dapat dilihat melalui empat hal, yaitu:
- Akses
Akses adalah sulitnya anak perempuan untuk sekolah
kejenjang yang lebih tinggi karena sekolah tersebut terletak jauh dari tempat
tinggal mereka. Anak perempuan menjadi terpaksa tinggal dirumah.
- Partisipasi
Partisipasi menyangkut faktor bidang studi yang
diminati.Umumnya yang terjadi stereotip bahwa perempuan cenderung memilih
sekolah yang dekat dengan perannya sebagai seorang perempuan.
- Penguasaan dan Manfaat
Penguasaan dan manfaat dalam proses pembelajaran
terlihat masih dipengaruhi oleh stereotip gender. Proses pembelajaran yang
dimaksud bias melalui pembelajaran, ilustrasi gambar dan sebagainya.
Ketimpangan gender di bidang pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi gender sebagaimana
yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender sebagaimana adanya
(kondisi objektif) di bidang pendidikan (Menteri Negara Peranan Wanita, 1998). Ketimpangan
gender disebut juga permasalahan gender atau isu gender. Lebih lanjut kondisi
normatif contohnya, kesempatan mengikuti pendidikan formal bagi laki-laki
(pria) dan perempuan (wanita) sama. Sedangkan kondisi objektif contohnya,
semakin tinggi jenjang pendidikan (SLTP ke atas), jumlah perempuan yang
mengikuti pendidikan formal lebih sedikit daripada laki-laki. Pendidikan adalah
proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa
atau mahasiswa). Dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat dibedakan sebagai
berikut. (1) Pendidikan formal,
yakni pendidikan melalui bangku sekolah, direncanakan, sangat dilembagakan dan
bertata tingkat, seperti TK,
SD dan seterusnya sampai
perguruan tinggi. (2) Pendidikan non
formal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah, tetapi direncanakan,
seperti penyuluhan, kursus-kursus, penataran dan lainnya. (3) Pendidikan informal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah
yang tidak direncanakan, tetapi berlangsung seumur hidup, seperti membaca surat
kabar dan media cetak lainnya, mengikuti teladan dari orang tua, mengikuti
perilaku dari sahabat atau kerabat, dan lain-lainnya. Dalam hal ini, yang
dimaksudkan adalah pendidikan formal.
3. KETIKADILAN GENDER DARI SEGI PENDIDIKAN
Dikemukakan oleh
Bemmelen (2003) ketimpangan gender di bidang
pendidikan dapat dilihat
dari indikator kuantitatif: (1) angka buta huruf, (2) angka
partisipasi sekolah, (3)
pilihan bidang studi dan (4) komposisi staf pengajar dan
kepala sekolah.
Ketimpangan gender dari masing-masing indikator tersebut dapat
dijelaskan secara
singkat sebagai berikut:
(1) Angka Buta Huruf
Melek huruf
merupakan syarat utama untuk berpartisipasi dalam kehidupan
modern dan pengembangan
kualitas sumber daya manusia. Pada berbagai belahan
dunia, di antaranya di
negara Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara,
masih dijumpai fakta
yang mencengangkan mengenai kondisi perempuan. Anak
perempuan atau wanita
yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih
rendah 75 juta orang
daripada anak laki-laki atau pria dan dari jumlah yang buta
huruf ternyata dua
pertiga adalah perempuan. Di Indonesia, jenjang pendidikan
formal juga menunjukkan
perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan
formal perempuan secara
umum lebih rendah daripada laki-laki (Agung Ariani,2002).
Di Bali, khususnya
di pedesaan (daerah desa) masih banyak perempuan yang
tidak lansia umurnya,
yakni kelompok umur 10 s.d 44 tahun yang buta huruf jika
dibandingkan dengan
laki-laki dalam kelompok umur yang sama. Perempuan
mencapai angka 11,1 %,
sedangkan laki-laki 3,5 %. Namun di perkotaan (daerah
kota) ketimpangan gender tidak setajam itu, yakni
perempuan mencapai angka 3,6 %
sedangkan laki-laki 1,3
% (Putra Astiti, 2002 dan Bemmelen, 2003).
(2) Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Di Indonesia,
semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikit
proporsi anak perempuan
bersekolah. Sekadar sebagai suatu ilustrasi, dikemukakan
oleh Rajab (2002) data
tahun 1990 ratio gender (perbandingan antara laki-laki
dengan perempuan)
sebagai berikut. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) 100 : 95;4
untuk Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) 100 : 89; untuk Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) 100
: 84 dan untuk Perguruan Tinggi 100 : 69.
Untuk di Bali, Angka
Partisipasi Sekolah (APS) dapat diikuti pada Tabel 1.
Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok
Umur (Tingkat Pendidikan)
dan Jenis Kelamin di Bali Tahun 2000.
NO
|
KELOMPOK UMUR/TINGKAT
PENDIDIKAN
|
JENIS KELAMIN
|
|
LAKI-LAKI
|
PEREMPUAN
|
||
1.
2.
3.
4.
|
7 s.d 12 / SD
13 s.d 15 / SLTP
16 s.d 18 / SLTA
19 s.d 24 / Perguruan
Tinggi
|
100
(97,2)
100
(88,0)
100
(65,5)
100
(15,2)
|
100,3
(97,5)
91,6
(80,6)
93,3
(61,1)
76,3
(11,6)
|
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan
persentase APS
Dari data yang
tertuang dalam Tabel 1 dapat dipahami bahwa pada tahun
2000 di Bali sudah tidak ada lagi ketimpangan gender di tingkat
SD (kelompok umur
7 s.d 12 tahun), begitu
pula harapan kita untuk tahun-tahun yang akan datang
(termasuk pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dan tertinggi). Untuk tingkat
SLTP dan SLTA masih
terdapat ketimpangan gender, yakni untuk SLTP (kelompok
umur 13 s.d 15 tahun)
setiap 100 orang laki-laki terdapat 91,6 orang perempuan dan
untuk SLTA (kelompok
umur 16 s.d 18 tahun) setiap 100 orang laki-laki dijumpai
93,3 orang perempuan.
Ketimpangan gender yang menonjol terlihat di Perguruan
Tinggi (kelompok umur 19
s.d 24 tahun), setiap 100 orang laki-laki dijumpai 76,3
orang perempuan atau
setiap 1.000 orang laki-laki dijumpai 763 orang perempuan.
Kiranya ada tiga
alasan pokok yang menyebabkan ketimpangan gender
tersebut. (1) Semakin
tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah
sekolah. Untuk mengikuti
pendidikan formal yang lebih tinggi (SLTP ke atas) yang
umumnya terkonsentrasi
di kota, baik
laki-laki maupun perempuan harus pergi ke
luar desa atau
meninggalkan desa dengan jarak yang relatif jauh. Hal ini
memberatkan orang tua
terhadap anak perempuan yang bersekolah jauh, karena akan
merasa kehilangan tenaga
kerja yang membantu di rumah. (2) Semakin tinggi
tingkat pendidikan,
semakin tinggi biaya yang diperlukan. Bagi keluarga atau rumah
tangga yang berlatar
belakang ekonomi lemah (miskin), umumnya lebih
mengutamakan anak
laki-laki untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi,
karena tenaga kerja
perempuan dibutuhkan di rumah. (3) Investasi pendidikan
formal bagi perempuan
kerap kali tidak banyak dirasakan oleh orang tua, karena
anak perempuan setelah
menikah akan menjadi anggota keluarga suaminya
(Suleeman, dalam TO.
Ihromi 1995).
(3) Pilihan Bidang Studi
Ketimpangan gender
terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapat
dibuktikan pada sekolah
kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri
(SKP), yakni suatu
sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah Teknik
Menengah (STM) umumnya
untuk anak laki-laki dan sebagainya. Dalam penjurusan
di tingkat SLTA, umumnya
anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial
(IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan
Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA). Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotipe
gender, anak perempuan
lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajar
yang lebih sedikit
daripada anak laki-laki. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak
dipacu belajar dan
dibebaskan dari tugas yang berkaitan dengan pekerjaan urusan
rumah tangga.
Berkaitan dengan
pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi,
dinyatakan oleh Suleeman
(dalam T O. Ihromi, 1995), bahwa proporsi laki-laki dan
perempuan di fakultas
dan jurusan di Universitas Indonesia
(dalam tahun 1992/1993)
menunjukkan ketimpangan
gender yang signifikan. Di samping itu, dinyatakan oleh
Agung Ariani (2002)
umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian
pendidikannya memerlukan
waktu pendek dan cepat bisa bekerja. Sebagai alasannya di antaranya, untuk
menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan
studi saudara
laki-lakinya.
(4) Komposisi Staf Pengajar dan Kepala Sekolah
Ketimpangan gender
dapat pula diketahui di kalangan staf pengajar dan
kepala sekolah. Walaupun
dalam tulisan ini tidak ada data kuantitatif, secara
kualitatif kenyataan
menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak
didominasi oleh tenaga
pengajar perempuan. Sedangkan untuk SD sampai dengan
jenjang pendidikan di
Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan
daripada tenaga pengajar
perempuan. Kecendrungan yang serupa juga terlihat di
kalangan kepala sekolah
dan pimpinan universitas.
Faktor-faktor Penentu
Ketimpangan Gender
- Faktor Internal
Faktor internal berarti faktor yang timbul dari dalam diri manusia itu
sendiri. Yang menjadi faktor internal mengapa kaum perempuan terbias gender
dengan kaum laki-laki dari segi pendidikan adalah:
- Sudah hakekatnya kaum perempuan mempunyai daya berpikir yang sedikit lemah dibandingkan kaum laki-laki.
- Kepercayaan yang diberikan atas kebebasan terhadap kaum perempuan oleh orang tua lebih kecil ketimbang kaum laki-laki, sehingga akses perempuan mengenyam pendidikan di daerah yang jauh dari keluarganya mengalami hambatan.
- Sebagian kaum perempuan masih ada yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan itu, karena pemikiran yang masih terpengaruh oleh budaya nenek moyangnya yang menganggap pendidikan bagi kaum perempuan akan sia-sia sebab akan bekerja dalam rumah tangga saja.
- Faktor Eksternal
Faktor-faktor
penentu ketimpangan gender di bidang pendidikan meliputi (1)
masalah lama, (2) nilai
gender yang dianut oleh masyarakat, (3) nilai dan peran
gender yang terdapat
dalam buku ajar, (4) nilai gender yang ditanamkan oleh guru
dan (5)kebijakan yang
bias gender. Masing-masing faktor itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
(1) Masalah Lama
Sejak dulu Angka
Partisipasi Sekolah anak perempuan lebih rendah daripada
laki-laki dan terfokus
pada jenis pendidikan tertentu (Bemmelen, 2003a). Memang
dilihat dari latar
belakang sejarah, sejak dulu dari masa ke masa atau dari generasi ke
generasi, perempuan
selalu lebih sulit mendapatkan akses ke dalam pendidikan
formal. Padahal, arti
penting pendidikan formal bagi perempuan sudah dirasakan
sejak lama. Hal ini
sejalan dengan pemikiran R.A Kartini melalui perjuangan
emansipasinya, yakni
menginginkan pendidikan formal perempuan yang sama
dengan laki-laki.
Dirasakan hanya melalui pendidikan formal, perempuan akan bisa
berdiri sama tinggi
dengan laki-laki. Menurut R.A. Kartini, laki-laki dan perempuan
mempunyai potensi yang
sama, oleh karena itu perempuan akan bisa melangkah
lebih maju apabila
diberikan peluang yang sama dengan laki-laki. Dalam pikiran
R.A Kartini, pendidikan
formal akan dapat menetralisasikan perbedaan sifat kelakilakian
dan keperempuanan yang
merupakan hasil rekayasa budaya itu. Pendidikan
formal diyakininya dapat
menghilangkan perbedaan prasangka itu, sehingga yang
tinggal hanyalah kodrati
biologisnya.
(2) Nilai Gender yang Dianut oleh Masyarakat
Berkaitan dengan
pendidikan formal, ada dua nilai gender yang menonjol
yang masih berlaku di
masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan. “Untuk apa
anak perempuan
disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga”. “Untuk apa
perempuan disekolahkan
(tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain
juga”.
Pada masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan patrilineal seperti di
Bali, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol. Pada
masyarakat yang berpegang
pada sistem kekerabatan
itu, lebih mengutamakan hubungan keluarga dengan garis
laki-laki (ayah)
daripada hubungan keluarga dengan garis perempuan (ibu). Dengan
demikian, cendrung lebih
mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di
dalam memberikan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal.
(3) Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku
Ajar
Contoh yang klasik
mengenai sosialisasi gender melalui buku ajar di
antaranya sebagai
berikut. “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. Ibu
berbelanja ke pasar,
Bapak mencangkul di sawah”.
Bentuk seksisme
lain; gambar-gambar lebih sering menampilkan anak lakilaki
jika dibandingkan dengan
anak perempuan dan dalam kegiatan yang lebih bervariasi.
(4) Nilai Gender yang Ditanamkan oleh Guru
Guru merupakan
“role model” yang sangat penting di luar lingkungan
keluarga anak. Disadari
atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsi
tentang peran gender
yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsung
atau tidak langsung
kepada murid (Bemmelen, 2003b). Berikut ini dikemukakan
beberapa contoh yang
membedakan.
a. Dalam hal-hal tertentu
guru lebih banyak berinteraksi dengan anak laki-laki,
tetapi dalam hal-hal
tertentu lainnya guru lebih banyak berinteraksi dengan anak
perempuan.
b. Dalam memberikan
mainan di Taman Kanak-kanak; anak laki-laki
diberikan
mainan mobil, sedangkan
anak perempuan diberikan mainan boneka.
c. Dalam memberikan
pujian; anak laki-laki dipuji karena kemampuan
intelektualnya,
sedangkan anak perempuan dipuji karena kerapiannya.
d. Anak perempuan lebih
sering disuruh untuk menjalankan peran membersihkan
sesuatu atau meladeni
sesuatu daripada anak laki-laki.
e. Guru lebih sering
memberikan pujian atau teguran kepada anak laki-laki
daripada anak perempuan.
Ini artinya, anak laki-laki lebih banyak mendapat
perhatian daripada anak
perempuan.
(5). Kebijakan yang bias gender
Terutama di tingkat
SLTA (SMU, SMK), terdapat kebijakan yang bias
gender seperti (a) anak
perempuan yang hamil (karena kecelakaan) dikeluarkan dari
sekolah, sedangkan anak
laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun, (b)
tidak dibenarkan anak perempuan
yang sudah menikah untuk mengikuti atau
melanjutkan pendidikan
di tingkat SLTP atau SLTA.
Kebijakan
pengangkatan guru atau kepala sekolah khususnya di tingkat SD,
SLTP dan SLTA yang lebih
berorientasi kepada laki-laki dan kebijakan
pengangkatan guru dan
kepala TK di TK yang lebih berorientasi kepada perempuan,
juga merupakan kebijakan
yang bias gender. Kebijakan itu merupakan pemicu
ketimpangan gender,
karena berimplikasi kepada komposisi personalia pengajar dan
kepala sekolah.
Berkaiatan dengan faktor
penentu ketimpangan gender, selain faktor penentu
yang telah diuraikan
tersebut, penting pula diperhatikan keluarga yang memiliki
kemampuan ekonomi
terbatas dan kurangnya fasilitas pendidikan. Bagi keluarga
yang berlatar belakang
ekonomi lemah, cendrung tidak memberikan anak perempuan
untuk memanfaatkan
kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Anak
perempuan dinomorduakan
dalam mengikuti atau melanjutkan pendidikan formal.
Apabila terjadi hal
yang demikian, maka pemerintah yang memiliki komitmen
terhadap peraturan wajib
belajar, berkewajiban untuk mengimbanginya dengan
kebijakan yang tepat. Di
desa-desa atau daerah-daerah terpencil khususnya, fasilitas
pendidikan masih kurang.
Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap akses anak desa
untuk mengikuti pendidikan
formal. Jika pada suatu desa tidak ada SD atau SLTP
umpamanya, maka
anak-anak terpaksa mengikuti pendidikan formal di luar desa,
yakni di desa lain atau
di kota
terdekat yang membutuhkan waktu dan biaya
transportasi khusus.
Dalam keadaan seperti itu, orang tua cendrung tidak
mengijinkan anak
perempuan bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh.
Hal ini terutama terjadi
di kalangan keluarga yang tidak mampu secara ekonomis.
- PENYELESAIAN KASUS GENDER
Salah
satu penyebab ketimpangan gender itu adalah pandangan terhadap laki-laki dan
perempuan yang dibuat oleh masyarakat maupun keluarga. Pengaruh stereotip ini
begitu besar dan kuat, sehingga tidak mudah untuk diubah, bahkan sudah dianggap
sebagai kebenaran umum.
Bias
gender dimulai dari keluarga, orang tua sudah mulai membeda-bedakan pembagian
sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan berdasarkan norma,
adat kebiasaan, dan kepercayaan. Pendidikan di sekolah banyak ditemukan gambar
maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja,
pilot selalu ditampilkan laki-laki karena dianggap pekerjaan ini memerlukan
kecakapan dan kekuatan yang “hanya” dimiliki laki-laki.
Bias
gender di rumah maupun sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau
anak perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk
selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk
tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial
mereka di masa mendatang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut
oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan
gender bukan berarti meninggalkan kodratnya, namun lebih pada meluruskan
pandangan keluarga dan masyarakat yang keliru dalam memberikan peran kepada perempuan
dan laki-laki. Bila perlu, di sekolah diberikan pelajaran yang berwawasan
gender, sehingga di masa mendatang akan muncul generasi yang memahami
kesetaraan gender dan mampu mengurangi bias gender di masyarakat. Ini
memerlukan keterlibatan Depdiknas, sekolah secara kelembagaan dan terutama
guru.
Diperlukan
pula standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan
gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan
bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran
yang peka gender. Salah satu kegiatan yang menarik yang berwawasan gender yaitu
lewat lomba-lomba yang memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan
anak laki-laki.
Pendidikan
kesetaraan gender juga bisa ditampilkan lewat film, video, drama atau teater
yang intinya menyadarkan kepada orang tua dan masyarakat bahwa stereotip mereka
selama ini tidak selalu benar terhadap ketimpangan gender antara anak laki-laki
dan anak perempuan. Misalnya, ditampilkan astronot wanita, ahli masak laki-laki
yang sukses, tukang salon laki-laki, ahli tata rias pria, pengemudi bus wanita,
atlet angkat besi wanita, dsb. Pada akhirnya keluarga dan masyarakat mampu
mengubah pola pandang mereka selama ini terhadap masalah gender ini.
Berdasarkan permasalahan ketimpangan
gender yang telah dibahas sebelumnya maka ada beberapa cara untuk menyelesaikannya, diantaranya:
1)
Mendorong pemerintah dan masyarakat menghadirkan
pendidikan yang berbasis keadilan gender.
Seperti halnya yang dilakukan di provinsi jawa
tengah daerah Kebumen yang sejak tahun 2000 tealah menempatkan kurikulum
program belajar responsive gender ke dalam 4 mata pelajaran di masing- masing
sekolah di daerah tersebut, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, Sejarah dan
Agama. Dengan adanya kurikulum pengarustamaan gender sangat mendorong perempuan
dan laki-laki untuk memiliki peluang yang sama dalam memperoleh akses terhadap
pendidikan. Tidak hanya itu, sumber daya pembangunan, serta berpartisipasi
dalam proses pembangunan, memiliki control atas sumber daya pembangunan, serta
memperoleh menfaat yang lebih meningkat.
2)
Pemerintah harus membuat suatu kebijakan untuk
menghapuskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki
dalam memperoleh pendidikan.
Program ini harus segera dicanangkan karena jika tidak kesempatan kaum perempuan
untuk memperoleh pendidikan tinggi akan semakin sulit. Pengetahuan perempuan
pastinya akan selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Jika keadaannya sudah
sedemikain sulit, bagaimana kaum perempuan bisa maju? Dan tak jarang hal ini akan menimbulkan suatu diskrimasi
yang tidak menyenangkan terhadap kaum perempuan.
3)
Menghilangkan kebudayaan dan adat masyarakat yang
masih bersifat primitive.
Misalnya adalah adat suatu daerah masyarakat yang
masih memarginalkan/ mengagungkan kedudukan laki-laki dibanding perempuan. Hal
ini jelas cukup memberi pengaruh besar dalam masalah kesetaraan gender bagi
kaum perempuan. Seperti yang kami katakana tadi, perempuan dan laki-laki memang
beda, tapi tidak mesti di beda-bedakan. Sehingga perempuan dalam tatanan
kehidupan masyarakat memperoleh perlakuan yang adil. Tidak ada yang terlalu
dimarginalkan, tidak ada yang berperan sebagai sumber daya penting, semuanya
mempunyai kedudukan yang sama rata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar