Secara jelas tersirat dalam UUD 1945
hasil amandemen Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Dalam konsep Negara hukum selalu menjunjung tinggi adanya
sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak
rakyat. Sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman (dalam Satjipto Rahardjo,
1978: 12) dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu:
1. Substansi Hukum; yang menyangkut isi
daripada hukum, terdiri dari aturan-aturan, norma-norma hukum dan lain
sebagainya
2. Struktur Hukum; yang menyangkut
tentang kelembagaan dari pada hukum
3. Budaya Hukum; menyangkut tentang
nilai-nilai dan sikap-sikap baik aparat penegak hukum maupun masyarakat itu
sendiri.
Dalam suatu Negara Hukum ketiga Sistem
Hukum ini mesti berjalan secara seimbang dan selaras. Aturan hukumnya harus
baik, kelembagaan juga baik dan yang tidak kalah pentingnya adalah budaya
hukumnya. Kasus Bank Century, penggelapan pajak yang terjadi belakangan ini
cenderung menunjukkan bahwa budaya hukum kita kurang menunjukkan dukungan
terhadap berjalannya sistem hukum dengan baik. Budaya hukum yang dimaksud
menyangkut tentang nilai dan sikap dari oknum aparat penegak hukum dan oknum
aparat birokrasi kita yang cenderung berperilaku korup, tidak terpuji dan
melanggar hukum. Hal ini terkait dengan mentalitas dan moralitas daripada oknum
aparat penegak hukum dan oknum aparat birokrasi kita.
Dalam Negara Hukum perilaku aparat
penegak hukum dan juga aparat birokrasi kita harus selalu didasarkan kepada
aturan perundang-undangan yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan baik kepada
Tuhan, masyarakat dan juga kepada hukum itu sendiri. Menurut Sri Soemantri
(dalam Mien Rukmini, 2003: 37) bahwa Negara Hukum mengandung empat unsur
penting, yaitu:
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya harus berdasar atas hukum/peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM).
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam
Negara
4. Adanya pengawasan (dari badan-badan
peradilan).
Unsur yang pertama harus dapat
dijadikan sebagai landasan berpijak bagi semua aparat baik aparat penegak hukum
maupun aparat birokrasi, sehingga perilaku-perilaku yang bersifat korup dan melanggar
hukum dapat dihindarkan. Dalam suatu buku yang lain, Lawrence M Friedman dan
Stewart Macaulay (tt: 754) juga menyatakan bahwa sebuah masyarakat yang
kompleks harus menggunakan peraturan atau hukum sebagai alat untuk mengatur
anggotanya, karena:
1. Peraturan atau hukum mungkin terkait
dengan melaksanakan/mengerjakan kebijakan umum, mereka (peraturan) akan mencoba
untuk menyalurkan sikap dengan merencanakan wilayah yang diijinkan dan tindakan
yang dilarang dalam kehidupan setiap hari.
2. Peraturan hukum bisa memaksakan
sanksi pada mereka yang menyimpang dari norma
3. Peraturan bisa memohon atau
mempergunakan beberapa strategi dalam hubungannya dengan penyimpangan terhadap
norma-norma yang berlaku.
Berkaitan dengan uraian diatas maka
hukum harus dapat dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga bisa mengubah pola kehidupan dan sikap oknum masyarakat dan oknum
aparat yang cenderung menyimpang dari norma hukum itu sendiri. Teori hukum yang
relevan dalam hal ini adalah Teori Rekayasa Sosial “Law as a tool of social
engineering” dari Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa hukum sebagai alat
untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (Darji Darmodiharjo dan Shidarta,
2004: 130).
Praktek hukum yang ada belakangan ini
justru menunjukkan gejala bahwa “hukum hanyalah digunakan sebagai suatu alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Ada faktor-faktor di luar hukum yang
justru memberikan pengaruh dan tekanan yang sangat besar terhadap proses
penegakan hukum itu sendiri. Apakah hal ini hanyalah inspirasi penulis ataukah
merupakan suatu kenyataan yang mesti kita terima, barangkali memerlukan
penelitian dan pengkajian lebih mendalam lagi. Paling tidak secara kasat mata
kita melihat bagaimana Pansus Century yang prosesnya disiarkan secara live
telah menggemparkan dan mencuri perhatian seluruh segi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak hanya perhatian masyarakat, perhatian pejabat-pejabat
birokrasi dan pejabat penegak hukum semua mengarah kepada Pansus yang dibentuk
DPR, apalagi oknum-oknum pejabat yang diduga terlibat dengan Skandal Bank
Century. Secara psikologis tentu hal ini memberikan dampak-dampak yang lain
terhadap penyelenggaraan negara dan penegakan hukum di negara kita.
Proses yang begitu menggembarkan
ternyata tidak diikuti oleh penyelesaian yang diharapkan oleh kita semua. Out
put daripada Pansus Century hanya sampai kepada sebuah rekomendasi yang
pada akhirnya mengarah kepada penegakan hukum, hal ini merupakan suatu
kewajiban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum meskipun tidak ada
rekomendasi dari Pansus Century. Berbarengan dengan berakhirnya Pansus ini,
menyebar lagi skandal LC Fiktif yang diduga melibatkan oknum anggota DPR yang
notabene sebagai inisiator hak angket DPR. Ada apa dengan semua ini ?,
mental-mental siapa yang patut dipertanyakan dalam hal ini. Kata kuncinya
adalah semua harus dibongkar, penegakan hukum harus dijalankan secara adil.
Contoh yang lain, dimana tekanan faktor
di luar hukum yang memperlihatkan pengaruhnya pada penegakan hukum adalah
rekomendasi Tim 8 yang seolah-olah menganggap Bibit dan Candra tidak bersalah,
dan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kejaksaan untuk
membebaskan kedua tersangka tersebut. Kejaksaan mengeluarkan SKP2 (Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan) yang didasarkan pada Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyatakan bahwa “Dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup
demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”.
Faktanya kasus bibit-candra menurut jaksa sudah sampai pada tahap P21, artinya
perkara tersebut sudah dianggap lengkap dan siap dilimpahkan kejaksaan. Dari
fakta ini, secara hukum apakah mungkin ketiga alasan dalam Pasal 140 ayat (2)
huruf a tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengeluarkan SKP2.
Pengalaman yang ada dan
kenyataan-kenyataan yang telah dihadapi hendaknya menjadi renungan bagi kita
bersama, apakah ini yang disebut Negara Hukum ataukah kita sedang berada atau
menuju kepada sebuah Negara Kekuasaan. Fenomena ini hendaknya menjadi perhatian
kita bersama, kalau melihat dari Struktur Hukum yang ada, kelembagaan hukum di
negara kita sudah sangat lengkap. Dalam Sistem Peradilan Pidana sudah ada
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan juga advokat.
Disamping itu ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang khusus menangani
Tindak Pidana Korupsi, ada pengadilan Tipikor. Disisi yang lain ada Komisi
Yudisial yang mengawasi perilaku hakim, ada komisi-komisi yang lain, ada
Mahkamah Konstitusi. Apa fungsi dan tugas mereka kalau kemudian dibentuk lagi
Satgas Mafia Hukum, bukankah pengawasan mengenai perilaku aparat penegak hukum
sudah ada Komisi Yudisial dan komisi-komisi yang lain. Tidakkah pembentukkan
Satgas Mafia Hukum sebagai wujud ketidakpercayaan pemangku kekuasaan terhadap
proses penegakan hukum yang ada, mudah-mudahan tidaklah demikian.
sumber:
sumber:
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan
HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum
pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 1978, Permasalahan
Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar